PART 2
“Hai,
May… udah ngerjain PR ini belum?” tanya Ririn saat aku sampai di kelas. Dia
memang selalu datang lebih pagi dari ku.
“Iya
udah, tadi kukerjakan sama Ry-” kataku langsung terputus. Ugh! Mulut ini memang
suka semaunya sendiri aja.
“Sama
siapa?” tanya Ririn.
“Sama…
sama, sama Ryfky!” kataku saat mencari-cari alasan. Dan bodohnya, jawaban yang
kuberikan itu salah besar, bahkan aku lupa kalau aku sedang musuhan dengannya.
“Benarkah?
Ciieee… udah baikan nih” goda RIrin, dia pasti langsung mau tanya-tanya sama
Rifky. Buktinya dia langsung pergi menghampiri Rifky yang baru saja masuk
kelas. Gawat!
Dari
jauh aku memberinya kode. BILANG AJA IYA, NANTI AKU JELASIN… KALO NGGAK dia
melihat kodeku, aku melanjutkannya dengan meletakkan tangan ke leher dan
berpura-pura mengirisnya, maksudku
supaya kalau dia bilang tak mengerti, itu artinya dia bakal sengsara.
“Katanya
kalian kerja PRbareng, gimana caranya?” tanya Ririn. Suaranya masih sampai
ketelingaku yang super tajam ini. Rifky melirikku, dan menyeringai. Tunggu, apa
maksud senyumnya itu? Firasat buruk, jauh-jauh dariku sana!!
“PR
apa?” kata Rifky yang suaranya SENGAJA di besar-besarkan. Aku memang benci sama
cowok ini.
“Yang
ini loh…” kata Ririn lagi sambil menunjukkan bukuku.
“Aku
kok gak ingat yah?” kata Rifky lagi, dan masih dengan suara yang sangat sengaja
di besar-besarkan. Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera tancap gas kearah
mereka berdua.
“Ya
iyalah gak ingat, kamu kan setengah tidur!” kataku ngasal. Ririn
nngangguk-nggaguk tanda mengeri. Jangan banyak tanya lagi oke?
Aku
merasakan tatapan Rifky, dan segera membalasnya dengan tajam. Semoga hari ini
cepat berlalu…
“May
apa sih maksudnya?” tanya Rifky saat pak Amal keluar dari kelas. Tentu saja
Ririn tidak ada di dekatku, dia sedang sibuk dengan Fika di belakang. Gak tau
ngomongin soal apa.
Aku
menengok kebelakang, memastikan Ririn tidak mendengar dan melihatku.
“Gak
perlu tahu, yang jelas kalau di tanya sama Ririn, bilang oke atau iya aja!”
kataku sedikit mempelankan suara.
“Lho
kenapa?” tanyanya dengan suara besar. Aku segera mengisyaratkan agar di diam.
“Ssssttt!
Gak bisa pelan-pelan gak sih ngomongnya?!” kataku emosi. Aku tahu kalau dia
sengaja. Memang susah ngomong sama dia.
“Aku
sih oke-oke aja, asal ada imbalannya” wad? Imbalan?! Aku langsung teringat
novel Jurnal Jo yang dia salah mengira waktu Rajiv ingin meminta imbalan, dan
JO khawatir kalau imbalannya itu keperawanan. Wajahku langsung pucat, jangan
bilang kalau imbalannya adalah keperawananku? Tidak bakal kukasih!!!
“A..
apa?” tanyaku sedikit takut.
“Maafin
aku..” katanya dengan santai.
GUBRAAAKKK
“May,
kayaknya ada peluang deh buat aku,” kata Ririn di sela-sela pelajaran Fisika.
Bu Handani adalah guru paling senior di sekolah mengingat umurnya yang sudah
sangat di atas rata-rata. Dia memang tipe guru yang rajin, maksudku tak pernah
absen selama belajar di kelas kami. Kadang kalau kita lagi mengerjakan tugas,
dia malah tidur di meja guru, untungnya kita bisa bicara sepuasnya karena saat
Bu Handani tidur dia akan benar-benar tertidur.
“Peluang
Ryan?” Tanyaku menebak-nebak. Dia mengangguk dengan semangat.
"Soalnya
kita SMS-an tadi malam, serukan?”
“Kalian
bicara apa?” sekarang aku mulai penasaran, dan semoga saja apa yang kuduga
tidak terjadi. Ya semoga saja.
“Banyak,
aku sampai lupa… yang jelasnya sekarang dia udah tahu aku siapa.”
“Benarkah?
Bagus dong! Kalau begitu kesempatanmu semakin besar, jangan sampai
terlewatkan!” aku menyemangatinya, sekarang Ririn mulai tersenyum-senyum
sendiri.
“Oh
iya, aku lihat kamu dan Rifky semakin akrab deh,” katanya tanpa memandangku.
“HAAA?!”
tanpa sadar aku mengeluarkan suara yang cukup membuat bu Hamdani terbangun dari
tidur princess-nya meski aku yakin dia tidak termasuk dalam kategori princess
lagi. Kalian pasti tahu sendiri alasannya.dan aku tidak perlu lagi
menyebutkannya.
“Baiklah
sampai dimana kita tadi?” tanyanya yang masih mengumpulkan kesadarannya.
Sekarang aku mulai merasa teman-teman di dalam kelas memandangku, dan aku tahu
apa maksudnya. Akhirnya pelajaran Fisika yang seharusnya menjadi sebuah moment
kebebasan menjadi moment membosankan.
“Aku
sama sekali tidak dekat sama Rifky. Ogah!” kami kembali melanjutkan pembicaraan
yang sempat terputus tadi saat istirahat ke-dua.
“Masih
trauma yah? Tapi kalau aku baca di novel-novel, biasanya gak lama lagi kalian
akan menjadi dekat!” katanya antusias. Aku hanya mendengus dan memutar kedua
bola mataku.
Kami
berjalan menuju kantin, sampai seketika orang yang paling diharapkan Ririn
muncul entah dari mana.
“Hai,
Ririn kan?” katanya lebih ramah.
“Ha,
hai… I, iya aku Ririn…” kata Ririn yang aku yakin dia 100% gugup. Dia beberapa
kali melirik ke arahku seakan-akan mengirim sinya yang berisi ‘Apa yang harus
kulakukan sekarang?’ dan aku hanya memberinya kode ‘Terserah’, dan aku juga
yakin Ryan melihat gelagat-gelagat kami karena sedari tadi dia mencoba menahan
tawa.
Aku
memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua. Aku tidak mau mengganggu mereka,
dan juga aku akan menjadi obat nyamuk. Saat aku hendak melangkahkan kaki,
tiba-tiba…
“Tunggu,
May… aku, ikut denganmu” kata Ririn memegang tanganku, dan melambaikan tangan
pada Ryan. Ya ampun…
“Seharusnya
kau gak usah ikut, ini kesempatan bagus! Dan langkah..” kataku sambil berjalan
menuju kelas dengan tentengan beberapa snack di tangan.
“Maaaaayyy…aku
gak sangguuup! Lututku sudah mau lepas, lihat?” kata Ririn sambil menunjuk
kearah lututnya. Aku hanya mendengus, akhir-akhir ini aku memang suka
mendengus.
“Tapi
nyatanya gak akan lepas, kan?” kataku meyakinkannya.
“Iya
sih, tapi kan…” Ririn mencoba untuk mengelak.
“Dan,
kau juga sudah menghilangkan kesempatan emasmu, emas itu berharga tahu”
“Tapi
aku gak tahu mau bilang apa sama dia…maksudku, aku hanya belum siap..”
“Siap
apa?” kataku dan seseorang lagi yang kupastikan adalah Rifky yang berdiri di
depan pintu kelas. Dia memang suka muncul secara tiba-tiba.
Kami (khususnya aku) kaget setengah mati
melihat kehadirannya. “Rifky! Bisa tidak sih kau bilang-bilang kalau ada di
sini?!” kataku marah.
“Bilang
apa? Memangnya apa sih yang kalian bicarakan?” tanyanya
“Bukan
urusanmu” kataku singkat.
“Urusan?
Oh iya ngomong-ngomong, aku jadi ingat soal tadi pagi…” ugh! Aku tahu dia akan
mengatakan atau mengungkit-ngungkit ini. memang seharusnya aku tak memilihnya!
Coba saja otakku lebih encer waktu itu, mungkin aku akan lebih memilih Farid
sang ketua kelas yang aku yakin lebih terpercaya. Mungkin. Siapa yang tahu?
“Oke,
oke, kau tak perlu melanjutkannya. Ini
juga bukan urusanku, ini urusan Ririn… jadi-“ aku mencoba menjelaskannya dan
berusaha untuk membuat Rifky tidak perlu ikut campur karena ini bukan urusanku.
Tapi tiba-tiba saja Ririn memotong perkataanku.
“Aku
sedang mencoba dekat dengan Ryan…” katanya dengan santai. WHAT? Ririn kok
menjawabnya tanpa beban? Maksudku, ini kan rahasia kami berdua, kenapa Rifky
meski mengetahuinya?
“Ryan?
Ryan… Ryan anak kelas 9B itu?” Kata Rifky. Bagus, sekarang aku yakin dia akan
masuk lebih dalam lagi.
“Benar!
ternyata kamu tahu dia yah!” Kata Ririn, memangnya siapa sih yang tak mengenal
Ryan?
“Aku
gak pernah tahu loh kalau Ririn punya orang yang disukai…” kata Rifky.
“Memang
kejadian langka” timpalku.
“Hehehe…
biasa aja..” Ririn cengengesan.
“Oh
iya, karena kau sudah tahu, kau juga harus ikut membantu” tambahku, aku yakin
dia tidak akan tertarik dengan soal percintaan cewek. Tapi…
“Aku
mau kok, apa yang bisa kubantu?”
HA?!
Dia memang sangat sulit di tebak!
Misi
kami dimulai mulai besok. Rencananya, Rifky yang memang mengenal Ryan akan
mengajaknya ngobrol di taman, trus nanti kami (sengaja) lewat di dekat mereka,
lalu Rifky memanggil kami untuk bergabung, setelah itu, kami akan
bercakap-cakap, dan kemudian Aku akan pergi meninggalkan mereka untuk
mengerjakan PR, aku akan mengajak Rifky karena aku berencana untuk meminjam
PR-nya. Bagaimana? Fake banget kan?
Aku setuju dengan kalian.
Masalahnya
adalah, apa yang akan kami bicarakan sehingga akan nyambung, padahal kesukaan
kami berbeda-beda, aku suka berbau Jepang dan Korea, Rifky suka game, Ririn
suka Barat, sedangkan Ryan suka olahraga. Sudah jelas banget kan kalau nantinya
rencana kami akan rusak karena kesukaan kami berbeda-beda?
Semoga
saja yang dibicarakan nanti bukan hal-hal yang sulit dimengerti. Aku tak mau berwajah
bengong di depan mereka semua.
Sambil
terus memikirkan rencana besok, aku mondar-mandir di kamar, nge-cek HP, online, dan tingkah gaje lainnya.
Aku
akhirnya ingin menenangkan otak dengan berfokus pada aktivitas online. Setelah
buka Facebook dan Twitter, aku lalu membuka G-mail. Siapa tahu “Dia” mengirim
sesuatu, kalau nggak, aku akan cerita soal ini ke dia.
1 Email
Kuls :
Chat
yuk, ngomongin apa aja boleh…
Me :
Aku juga lagi bosan nih. Pengen cerita :3
Kuls
:
Cerita
apaan?
Aku
lalu menceritakan semua rencana kami. Aku memberitahunya karena aku sangat
yakin kalau orang ini aman. Yang kumaksud aman disini adalah dia itu cewek
(perkiraanku) dan dia tidak berada di sekitarku.
Setelah
puas cerita kami pun ngobrolin hal yang lain. Banyak banget, sampai aku putusin
untuk berhenti karena sudah lama sekali. Bahkan aku bisa merasakan jari-jariku
membengkak.
Yoooosshhh~
Suara
hpku tanda SMS masuk. Aku segera mengambilnya. Akhirnya ada juga yang SMS aku.
Dan seperti yang kuduga dia yang SMS aku.
Moy lagi ngapain?
Gak
ngapa-ngapain, bosan nih. Pengen keluaaaaaarrr
Hahaha, jalan yuk
Ngaco.
Kenapa? Malu yah?
Nggak
Hmm… kalau pacaran sama aku kira-kira
kamu mau gak yah jalan bareng?
Gak
mau kalau berdua, maunya banyak orang
Kok gitu?
Lebih
ramekan lebih asyik
Eh, kapan nih jawbnx?
Jawaban
apa?
Soal jadian, mau kan?
Nanti
deh, tunggu yah, soalnya aku harus mastiin sesuatu dulu..
Mastiin apa?
Sesuatu
pokoknya, susah dijelasinnya
Aku bakal nunggu jawaban kamu sampai
kamu bilang iya,kalau blgnya nggak aku bakal nunggu lagi, hahaha…
Tambah ngaco deh..
“Gimana?
Jadikan?” tanyaku memastikan rencana kemarin. Ririn mengangguk, dan kentara
sekali wajahnya sangat pucat, padahal masih ada 3 jam untuk istirahat pertama.
Kami
belajar seperti biasanya. Sampai bel keluar bunyi, suasananya menjadi berbeda.
Aku melirik kearah Ririn yang bengong aja dari tadi, sedangkan Rifky sedang
memulai rencananya.
Dari
atas kami melihatnya lagi berbicara dengan Rifky. Sampai saat ini semua
berjalan lancar. Aku dan Ririn pun turun dan berpura-pura lewat disana. tapi
selalu saja sebuah misi tidak akan berjalan dengan sempurna. Ririn yang tinggi
membuatnya lebih mencolok dibanding denganku sehingga membuatnya dipanggil
secara tiba-tiba oleh guru BK. Seharusnya kami juga memikirkan ini. atau
setidaknya memiliki rencana B. sayangnya kami tidak CUKUP pintar untuk
memikirkan ini.
Terpaksa,
Ririn meninggalkanku dan pergi ke guru BK tersebut, dia menyuruhku untuk
ngobrol duluan karena sedari tadi Rifky sudah memanggilku. Mau tak mau aku
menjalankan misi awal tanpa Ririn. Aku berdoa semoga saja dia cepat selesainya.
“Hai”
sapa Ryan. “Halo” balasku singkat lalu duduk di dekat mereka.
“Kalian
ngobrolin apa?” tanyaku, pertanyaan ini sudah kusiapkan dari kemarin.
“Soal
teknologi, aku bilang kalau kamu paling suka sama teknologi.. dan kebetulan
kamu lewat” kata Rifky ngasal. What? Teknologi? Kata macam apa itu? Aku
sangaaaat kudeeet dengan persoalan teknologi. Dasar Rifky, jangan-jangan dia
juga tak tahu sehingga melempar persoalan ini denganku.
Aku
sempat terdiam memikirkan apa yang kulakukan sekarang. Atau lebih tepatnya
memikirkan cara untuk mengalihkan pembicaraan dari teknologi.
“Ryan
gak percaya kalau kamu jago teknologi” tambah Rifky. Ya iyalah, semua orang aja
tahu kali kalau aku itu buta dalam hal kategori ini! kamunya aja yang bego.
“Eeh,
nggak kok” kataku. Aku melirik kea rah Ryan, jelas sekali dia ingin tertawa. Aku
tahu dia tahu kalau aku buta teknologi.
“Aku
baru tahu kalau Somay suka sama teknologi” kata Ryan. Ugh! Pengen ku jitak
rasanya kepala seseorang. Siapapun silahkan mendaftar~
“Aku
ng-“ kalimatku terputus oleh Rifky.
“Somay?
Apaan itu? Makanan?” tanyanya.
“Haha,
bukan makanan! Somay itu dia..” kata Ryan sambil menunjukku. Ugh!
“Tunggu,
tunggu sebentar! Aku gak ngerti deh, kok kamu panggil dia Somay?” tanya Rifky.
“Hmm…
gak tau waktu itu kenapa bisa aku manggil dia Somay. Sejak kapan Moy?” kata
Ryan melihat kearahku. Oh tidak, aku tidak bisa berkata-kata lagi.
“Moy?
Maksudnya Maya? Berapa banyak sih nama si Maya?”
“Gak
tahu…” jawabnya sambil mengakta kedua bahunya.
“Kok
kamu bisa manggil dia kayak gitu sih? Perasaan baru kali ini aku lihat kalian
berbicara satu sama lain” kara Rifyal yang kini semakin penuh selidik.
“Hahaha…”
Ryan hanya tertawa. Dasar mulut ember. Kok jadi gini sih? Ririn kemana sih, kok
lama banget? Kan dia yang “Queen” saat ini, bukan aku.
Aku
mencari-cari sosok Ririn, dan ternyata dia sedang berjalan cepat menuju kami.
Aku langsung saja memanggilnya. “Riin!” dia menghampiri kami.
“Tumben
kalian barengan, ngomongin soal apa sih?” katanya. Aku yakin Ririn sudah
berlatih kalimat ini sepanjang hidupnya.
“Macam-macam,
oh iya, ternyata si Ma-“ aku langsung menginjak kaki Rifky dengan keras, aku
sudah menduga apa yang akan di katakan mulut embernya itu.
“Awww”
teriaknya kesakitan.
“Oh,
sori Ky, gak sengaja.. hehehe” kataku ngeles. Fiuh~ berhasil. Segera saja aku
memberi kode mata jangan bicara macam-macam. Bagitu pula dengan Ryan. Aku hanya
menatapnya tajam.
“Ngomong-ngomong,
Ririn itu jagonya teknologi, iyakan Rin? Dari tadi kami membicarakan soal itu”
kataku. Maafkan aku, ini demi kebaikanmu juga, aku sangat tahu kamu juga buta
teknologu sepertiku. Tapi mau bagaimana lagi…
“Oh
iya, PR Fisika! Aku lupa, Rif, udah ngerjain belum?” tanyaku yang memulai
rencana kembali. “Udah” katanya singkat.
“Liat
dooong!” aku berpura-pura memohon. Padahal jelas-jelas aku sudah mengerjakannya
tadi malam.
“Ambil
di tasku aja” katanya, sepertinya dia lupa adegan ini. aku harus mengembalikan
ingatannya.
“Tas?
Aku gak mau buka tas sembarangan, ambilin ya” kataku lagi sambil menariknya
berdiri.
“Duluan
yah, kalian lanjutin aja!” kataku. Samar-samar aku mendengar.
“Dasar, pelupa!” dari mulut Ryan.
“Kok
lo gak pernah bilang kalo udah kenal Ryan?” tanya Rifky, yang langkahan kakinya
jaauuh lebih lebar ketimbang kaki pendekku ini. aku berusaha menyeimbangkan
kakiku dengan kakinya, namun hasilnya nihil.
“Rifky,
jalannya jangan lebar-lebar… susah tau nyusulnya!” seruku tidak mempedulikan
pertanyaannya tadi. Atau lebih tepatnya menghindari pertanyaannya.
“Kaki
kamu aja yang pendek.. udah deh, jangan mengalihkan pembicaraan.” Katanya. Aku
hanya diam. Aku hanya gak tau apa yang akan kukatakan.
“Oi
Batagor! Jangan ngelamun…” katanya lagi sambil menyenggolku. Aku memandangnya,
“Batagor?”
“Ryan
panggil kamu Somay. Pasangan somay kan batagor” jawabnya ngasal. “Ngaco.”
“Gimana?”
tanyaku ketika melihat Ririn masuk kekelas. Wajahnya sangat sulit ditafsirkan.
Dia hanya duduk disampingku dan menghembuskan napas yang sangat panjang. Rifky
ikut bergabung dengan kami, ketika melihat Ririn memasuki kelas.
“Aku
gak yakin, apa perbincangan kami itu bisa ditafsirkan menyenangkan atau
bagaimana…”
“Maksudnya?”
sumpah. Gue benar-benar gak mengerti.
“Yaaah…
kami ngobrolin soal…” katanya lagi. Dia sempat memandangku. Gue benar-benar
penasaran apa yang akan dikatakannya.
“Soal
apa?” aku baru saja ingin menanyakannya tapi keduluan Rifky.
“Soal
kamu” kata Ririn sambil melihat kearahku. HAH?! Apa maksudnya? Apa mereka
benar-benar bicara soal aku? Mereka ngomongin soal apa?
“Loh?
Kok soal aku? Emang dia bilang apa aja?” tanyaku yang benar-benar penasaran.
“Dia
bilang… sejak kapan kita sama-sama terus, pokoknya soal kamu deh!” katanya
lagi. “Kok dia gak ngomong soal aku sih?” sambungnya.
“Mungkin…
dia juga gugup, Rin. Udahlah, kita coba lagi yang lain yuk?” tawarku, dia lalu
tersenyum. “Nah, rencana selanjutnya apa?” tanya Rifky.
“Sapa,
ajak ngobrol, pulang bareng.” Jawab Ririn. “Setidaknya aku tahu kalau jalan
rumahnya sejalan dengan kita, tapi dia gak naik angkot yang sama.”
“Dia
naik angkot apa emang?” angkot biru,
strep abu-abu yang menuju syech yusuf.
“Angkot
biru, strep abu-abu yang menuju syech yusuf.” Jawab Ririn lagi. BINGO.
“Nah,
kamu kan juga menuju kesitu” kata Rifky. Cih, anak geng motor emang gak tau
apa-apa soal angkot. “Kalau aku sih bisa lewat situ, tapi kalo Ririn nggak”
kataku.
“Loh?
Kenapa?” katanya. Ugh. “Soalnya kalo Ririn naik angkot strep abu-abu bukannya
jingga, dia bakal jaaauuuuh jalan masuk kerumahnya.” Jelasku.
“ngorbanin
kaki untuk jalan gak papa lagi, setidaknya kalian bisa lebih dekat” kata Rifky.
“Iya
juga sih”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar