Rabu, 03 Desember 2014

Damnit ILove Him



PART 2

“Hai, May… udah ngerjain PR ini belum?” tanya Ririn saat aku sampai di kelas. Dia memang selalu datang lebih pagi dari ku.
“Iya udah, tadi kukerjakan sama Ry-” kataku langsung terputus. Ugh! Mulut ini memang suka semaunya sendiri aja.
“Sama siapa?” tanya Ririn.
“Sama… sama, sama Ryfky!” kataku saat mencari-cari alasan. Dan bodohnya, jawaban yang kuberikan itu salah besar, bahkan aku lupa kalau aku sedang musuhan dengannya.
“Benarkah? Ciieee… udah baikan nih” goda RIrin, dia pasti langsung mau tanya-tanya sama Rifky. Buktinya dia langsung pergi menghampiri Rifky yang baru saja masuk kelas. Gawat!
Dari jauh aku memberinya kode. BILANG AJA IYA, NANTI AKU JELASIN… KALO NGGAK dia melihat kodeku, aku melanjutkannya dengan meletakkan tangan ke leher dan berpura-pura mengirisnya, maksudku  supaya kalau dia bilang tak mengerti, itu artinya dia bakal sengsara.
“Katanya kalian kerja PRbareng, gimana caranya?” tanya Ririn. Suaranya masih sampai ketelingaku yang super tajam ini. Rifky melirikku, dan menyeringai. Tunggu, apa maksud senyumnya itu? Firasat buruk, jauh-jauh dariku sana!!
“PR apa?” kata Rifky yang suaranya SENGAJA di besar-besarkan. Aku memang benci sama cowok ini.
“Yang ini loh…” kata Ririn lagi sambil menunjukkan bukuku.
“Aku kok gak ingat yah?” kata Rifky lagi, dan masih dengan suara yang sangat sengaja di besar-besarkan. Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera tancap gas kearah mereka berdua.

“Ya iyalah gak ingat, kamu kan setengah tidur!” kataku ngasal. Ririn nngangguk-nggaguk tanda mengeri. Jangan banyak tanya lagi oke?
Aku merasakan tatapan Rifky, dan segera membalasnya dengan tajam. Semoga hari ini cepat berlalu…

“May apa sih maksudnya?” tanya Rifky saat pak Amal keluar dari kelas. Tentu saja Ririn tidak ada di dekatku, dia sedang sibuk dengan Fika di belakang. Gak tau ngomongin soal apa.
Aku menengok kebelakang, memastikan Ririn tidak mendengar dan melihatku.
“Gak perlu tahu, yang jelas kalau di tanya sama Ririn, bilang oke atau iya aja!” kataku sedikit mempelankan suara.
“Lho kenapa?” tanyanya dengan suara besar. Aku segera mengisyaratkan agar di diam.
“Ssssttt! Gak bisa pelan-pelan gak sih ngomongnya?!” kataku emosi. Aku tahu kalau dia sengaja. Memang susah ngomong sama dia.
“Aku sih oke-oke aja, asal ada imbalannya” wad? Imbalan?! Aku langsung teringat novel Jurnal Jo yang dia salah mengira waktu Rajiv ingin meminta imbalan, dan JO khawatir kalau imbalannya itu keperawanan. Wajahku langsung pucat, jangan bilang kalau imbalannya adalah keperawananku? Tidak bakal kukasih!!!
“A.. apa?” tanyaku sedikit takut.
“Maafin aku..” katanya dengan santai.
GUBRAAAKKK  

“May, kayaknya ada peluang deh buat aku,” kata Ririn di sela-sela pelajaran Fisika. Bu Handani adalah guru paling senior di sekolah mengingat umurnya yang sudah sangat di atas rata-rata. Dia memang tipe guru yang rajin, maksudku tak pernah absen selama belajar di kelas kami. Kadang kalau kita lagi mengerjakan tugas, dia malah tidur di meja guru, untungnya kita bisa bicara sepuasnya karena saat Bu Handani tidur dia akan benar-benar tertidur.
“Peluang Ryan?” Tanyaku menebak-nebak. Dia mengangguk dengan semangat.
"Soalnya kita SMS-an tadi malam, serukan?”
“Kalian bicara apa?” sekarang aku mulai penasaran, dan semoga saja apa yang kuduga tidak terjadi. Ya semoga saja.
“Banyak, aku sampai lupa… yang jelasnya sekarang dia udah tahu aku siapa.”
“Benarkah? Bagus dong! Kalau begitu kesempatanmu semakin besar, jangan sampai terlewatkan!” aku menyemangatinya, sekarang Ririn mulai tersenyum-senyum sendiri.
“Oh iya, aku lihat kamu dan Rifky semakin akrab deh,” katanya tanpa memandangku.
“HAAA?!” tanpa sadar aku mengeluarkan suara yang cukup membuat bu Hamdani terbangun dari tidur princess-nya meski aku yakin dia tidak termasuk dalam kategori princess lagi. Kalian pasti tahu sendiri alasannya.dan aku tidak perlu lagi menyebutkannya.
“Baiklah sampai dimana kita tadi?” tanyanya yang masih mengumpulkan kesadarannya. Sekarang aku mulai merasa teman-teman di dalam kelas memandangku, dan aku tahu apa maksudnya. Akhirnya pelajaran Fisika yang seharusnya menjadi sebuah moment kebebasan menjadi moment membosankan.

“Aku sama sekali tidak dekat sama Rifky. Ogah!” kami kembali melanjutkan pembicaraan yang sempat terputus tadi saat istirahat ke-dua.
“Masih trauma yah? Tapi kalau aku baca di novel-novel, biasanya gak lama lagi kalian akan menjadi dekat!” katanya antusias. Aku hanya mendengus dan memutar kedua bola mataku.
Kami berjalan menuju kantin, sampai seketika orang yang paling diharapkan Ririn muncul entah dari mana.
“Hai, Ririn kan?” katanya lebih ramah.
“Ha, hai… I, iya aku Ririn…” kata Ririn yang aku yakin dia 100% gugup. Dia beberapa kali melirik ke arahku seakan-akan mengirim sinya yang berisi ‘Apa yang harus kulakukan sekarang?’ dan aku hanya memberinya kode ‘Terserah’, dan aku juga yakin Ryan melihat gelagat-gelagat kami karena sedari tadi dia mencoba menahan tawa.
Aku memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua. Aku tidak mau mengganggu mereka, dan juga aku akan menjadi obat nyamuk. Saat aku hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba…
“Tunggu, May… aku, ikut denganmu” kata Ririn memegang tanganku, dan melambaikan tangan pada Ryan. Ya ampun…

“Seharusnya kau gak usah ikut, ini kesempatan bagus! Dan langkah..” kataku sambil berjalan menuju kelas dengan tentengan beberapa snack di tangan.
“Maaaaayyy…aku gak sangguuup! Lututku sudah mau lepas, lihat?” kata Ririn sambil menunjuk kearah lututnya. Aku hanya mendengus, akhir-akhir ini aku memang suka mendengus.
“Tapi nyatanya gak akan lepas, kan?” kataku meyakinkannya.
“Iya sih, tapi kan…” Ririn mencoba untuk mengelak.
“Dan, kau juga sudah menghilangkan kesempatan emasmu, emas itu berharga tahu”
“Tapi aku gak tahu mau bilang apa sama dia…maksudku, aku hanya belum siap..”
“Siap apa?” kataku dan seseorang lagi yang kupastikan adalah Rifky yang berdiri di depan pintu kelas. Dia memang suka muncul secara tiba-tiba.
  Kami (khususnya aku) kaget setengah mati melihat kehadirannya. “Rifky! Bisa tidak sih kau bilang-bilang kalau ada di sini?!” kataku marah.
“Bilang apa? Memangnya apa sih yang kalian bicarakan?” tanyanya
“Bukan urusanmu” kataku singkat.
“Urusan? Oh iya ngomong-ngomong, aku jadi ingat soal tadi pagi…” ugh! Aku tahu dia akan mengatakan atau mengungkit-ngungkit ini. memang seharusnya aku tak memilihnya! Coba saja otakku lebih encer waktu itu, mungkin aku akan lebih memilih Farid sang ketua kelas yang aku yakin lebih terpercaya. Mungkin. Siapa yang tahu?
“Oke, oke,  kau tak perlu melanjutkannya. Ini juga bukan urusanku, ini urusan Ririn… jadi-“ aku mencoba menjelaskannya dan berusaha untuk membuat Rifky tidak perlu ikut campur karena ini bukan urusanku. Tapi tiba-tiba saja Ririn memotong perkataanku.
“Aku sedang mencoba dekat dengan Ryan…” katanya dengan santai. WHAT? Ririn kok menjawabnya tanpa beban? Maksudku, ini kan rahasia kami berdua, kenapa Rifky meski mengetahuinya?
“Ryan? Ryan… Ryan anak kelas 9B itu?” Kata Rifky. Bagus, sekarang aku yakin dia akan masuk lebih dalam lagi.
“Benar! ternyata kamu tahu dia yah!” Kata Ririn, memangnya siapa sih yang tak mengenal Ryan?
“Aku gak pernah tahu loh kalau Ririn punya orang yang disukai…” kata Rifky.
“Memang kejadian langka” timpalku.
“Hehehe… biasa aja..” Ririn cengengesan.
“Oh iya, karena kau sudah tahu, kau juga harus ikut membantu” tambahku, aku yakin dia tidak akan tertarik dengan soal percintaan cewek. Tapi…
“Aku mau kok, apa yang bisa kubantu?”
HA?! Dia memang sangat sulit di tebak!

Misi kami dimulai mulai besok. Rencananya, Rifky yang memang mengenal Ryan akan mengajaknya ngobrol di taman, trus nanti kami (sengaja) lewat di dekat mereka, lalu Rifky memanggil kami untuk bergabung, setelah itu, kami akan bercakap-cakap, dan kemudian Aku akan pergi meninggalkan mereka untuk mengerjakan PR, aku akan mengajak Rifky karena aku berencana untuk meminjam PR-nya. Bagaimana? Fake banget kan? Aku setuju dengan kalian.
Masalahnya adalah, apa yang akan kami bicarakan sehingga akan nyambung, padahal kesukaan kami berbeda-beda, aku suka berbau Jepang dan Korea, Rifky suka game, Ririn suka Barat, sedangkan Ryan suka olahraga. Sudah jelas banget kan kalau nantinya rencana kami akan rusak karena kesukaan kami berbeda-beda?
Semoga saja yang dibicarakan nanti bukan hal-hal yang sulit dimengerti. Aku tak mau berwajah bengong di depan mereka semua.
Sambil terus memikirkan rencana besok, aku mondar-mandir di kamar, nge-cek HP, online, dan tingkah gaje lainnya.
Aku akhirnya ingin menenangkan otak dengan berfokus pada aktivitas online. Setelah buka Facebook dan Twitter, aku lalu membuka G-mail. Siapa tahu “Dia” mengirim sesuatu, kalau nggak, aku akan cerita soal ini ke dia.
1 Email
Kuls :
Chat yuk, ngomongin apa aja boleh…
Me :
Aku  juga lagi bosan nih. Pengen cerita :3
Kuls :
Cerita apaan?
Aku lalu menceritakan semua rencana kami. Aku memberitahunya karena aku sangat yakin kalau orang ini aman. Yang kumaksud aman disini adalah dia itu cewek (perkiraanku) dan dia tidak berada di sekitarku.
Setelah puas cerita kami pun ngobrolin hal yang lain. Banyak banget, sampai aku putusin untuk berhenti karena sudah lama sekali. Bahkan aku bisa merasakan jari-jariku membengkak.
Yoooosshhh~
Suara hpku tanda SMS masuk. Aku segera mengambilnya. Akhirnya ada juga yang SMS aku. Dan seperti yang kuduga dia yang SMS aku.
Moy lagi ngapain?
Gak ngapa-ngapain, bosan nih. Pengen keluaaaaaarrr
Hahaha, jalan yuk
Ngaco.
Kenapa? Malu yah?
Nggak
Hmm… kalau pacaran sama aku kira-kira kamu mau gak yah jalan bareng?
Gak mau kalau berdua, maunya banyak orang
Kok gitu?
Lebih ramekan lebih asyik
Eh, kapan nih jawbnx?
Jawaban apa?
Soal jadian, mau kan?
Nanti deh, tunggu yah, soalnya aku harus mastiin sesuatu dulu..
Mastiin apa?
Sesuatu pokoknya, susah dijelasinnya
Aku bakal nunggu jawaban kamu sampai kamu bilang iya,kalau blgnya nggak aku bakal nunggu lagi, hahaha…
Tambah ngaco deh..
­­­­“Gimana? Jadikan?” tanyaku memastikan rencana kemarin. Ririn mengangguk, dan kentara sekali wajahnya sangat pucat, padahal masih ada 3 jam untuk istirahat pertama.
Kami belajar seperti biasanya. Sampai bel keluar bunyi, suasananya menjadi berbeda. Aku melirik kearah Ririn yang bengong aja dari tadi, sedangkan Rifky sedang memulai rencananya.
Dari atas kami melihatnya lagi berbicara dengan Rifky. Sampai saat ini semua berjalan lancar. Aku dan Ririn pun turun dan berpura-pura lewat disana. tapi selalu saja sebuah misi tidak akan berjalan dengan sempurna. Ririn yang tinggi membuatnya lebih mencolok dibanding denganku sehingga membuatnya dipanggil secara tiba-tiba oleh guru BK. Seharusnya kami juga memikirkan ini. atau setidaknya memiliki rencana B. sayangnya kami tidak CUKUP pintar untuk memikirkan ini.
Terpaksa, Ririn meninggalkanku dan pergi ke guru BK tersebut, dia menyuruhku untuk ngobrol duluan karena sedari tadi Rifky sudah memanggilku. Mau tak mau aku menjalankan misi awal tanpa Ririn. Aku berdoa semoga saja dia cepat selesainya.
“Hai” sapa Ryan. “Halo” balasku singkat lalu duduk di dekat mereka.
“Kalian ngobrolin apa?” tanyaku, pertanyaan ini sudah kusiapkan dari kemarin.
“Soal teknologi, aku bilang kalau kamu paling suka sama teknologi.. dan kebetulan kamu lewat” kata Rifky ngasal. What? Teknologi? Kata macam apa itu? Aku sangaaaat kudeeet dengan persoalan teknologi. Dasar Rifky, jangan-jangan dia juga tak tahu sehingga melempar persoalan ini denganku.
Aku sempat terdiam memikirkan apa yang kulakukan sekarang. Atau lebih tepatnya memikirkan cara untuk mengalihkan pembicaraan dari teknologi.
“Ryan gak percaya kalau kamu jago teknologi” tambah Rifky. Ya iyalah, semua orang aja tahu kali kalau aku itu buta dalam hal kategori ini! kamunya aja yang bego.
“Eeh, nggak kok” kataku. Aku melirik kea rah Ryan, jelas sekali dia ingin tertawa. Aku tahu dia tahu kalau aku buta teknologi.
“Aku baru tahu kalau Somay suka sama teknologi” kata Ryan. Ugh! Pengen ku jitak rasanya kepala seseorang. Siapapun silahkan mendaftar~
“Aku ng-“ kalimatku terputus oleh Rifky.
“Somay? Apaan itu? Makanan?” tanyanya.
“Haha, bukan makanan! Somay itu dia..” kata Ryan sambil menunjukku. Ugh!
“Tunggu, tunggu sebentar! Aku gak ngerti deh, kok kamu panggil dia Somay?” tanya Rifky.
“Hmm… gak tau waktu itu kenapa bisa aku manggil dia Somay. Sejak kapan Moy?” kata Ryan melihat kearahku. Oh tidak, aku tidak bisa berkata-kata lagi.
“Moy? Maksudnya Maya? Berapa banyak sih nama si Maya?”
“Gak tahu…” jawabnya sambil mengakta kedua bahunya.
“Kok kamu bisa manggil dia kayak gitu sih? Perasaan baru kali ini aku lihat kalian berbicara satu sama lain” kara Rifyal yang kini semakin penuh selidik.
“Hahaha…” Ryan hanya tertawa. Dasar mulut ember. Kok jadi gini sih? Ririn kemana sih, kok lama banget? Kan dia yang “Queen” saat ini, bukan aku.
Aku mencari-cari sosok Ririn, dan ternyata dia sedang berjalan cepat menuju kami. Aku langsung saja memanggilnya. “Riin!” dia menghampiri kami.
“Tumben kalian barengan, ngomongin soal apa sih?” katanya. Aku yakin Ririn sudah berlatih kalimat ini sepanjang hidupnya.
“Macam-macam, oh iya, ternyata si Ma-“ aku langsung menginjak kaki Rifky dengan keras, aku sudah menduga apa yang akan di katakan mulut embernya itu.
“Awww” teriaknya kesakitan.
“Oh, sori Ky, gak sengaja.. hehehe” kataku ngeles. Fiuh~ berhasil. Segera saja aku memberi kode mata jangan bicara macam-macam. Bagitu pula dengan Ryan. Aku hanya menatapnya tajam.
“Ngomong-ngomong, Ririn itu jagonya teknologi, iyakan Rin? Dari tadi kami membicarakan soal itu” kataku. Maafkan aku, ini demi kebaikanmu juga, aku sangat tahu kamu juga buta teknologu sepertiku. Tapi mau bagaimana lagi…
“Oh iya, PR Fisika! Aku lupa, Rif, udah ngerjain belum?” tanyaku yang memulai rencana kembali. “Udah” katanya singkat.
“Liat dooong!” aku berpura-pura memohon. Padahal jelas-jelas aku sudah mengerjakannya tadi malam.
“Ambil di tasku aja” katanya, sepertinya dia lupa adegan ini. aku harus mengembalikan ingatannya.
“Tas? Aku gak mau buka tas sembarangan, ambilin ya” kataku lagi sambil menariknya berdiri.
“Duluan yah, kalian lanjutin aja!” kataku. Samar-samar aku mendengar.
“Dasar, pelupa!” dari mulut Ryan.  

“Kok lo gak pernah bilang kalo udah kenal Ryan?” tanya Rifky, yang langkahan kakinya jaauuh lebih lebar ketimbang kaki pendekku ini. aku berusaha menyeimbangkan kakiku dengan kakinya, namun hasilnya nihil.
“Rifky, jalannya jangan lebar-lebar… susah tau nyusulnya!” seruku tidak mempedulikan pertanyaannya tadi. Atau lebih tepatnya menghindari pertanyaannya.
“Kaki kamu aja yang pendek.. udah deh, jangan mengalihkan pembicaraan.” Katanya. Aku hanya diam. Aku hanya gak tau apa yang akan kukatakan.
“Oi Batagor! Jangan ngelamun…” katanya lagi sambil menyenggolku. Aku memandangnya, “Batagor?”
“Ryan panggil kamu Somay. Pasangan somay kan batagor” jawabnya ngasal. “Ngaco.”
“Gimana?” tanyaku ketika melihat Ririn masuk kekelas. Wajahnya sangat sulit ditafsirkan. Dia hanya duduk disampingku dan menghembuskan napas yang sangat panjang. Rifky ikut bergabung dengan kami, ketika melihat Ririn memasuki kelas.
“Aku gak yakin, apa perbincangan kami itu bisa ditafsirkan menyenangkan atau bagaimana…”
“Maksudnya?” sumpah. Gue benar-benar gak mengerti.
“Yaaah… kami ngobrolin soal…” katanya lagi. Dia sempat memandangku. Gue benar-benar penasaran apa yang akan dikatakannya.
“Soal apa?” aku baru saja ingin menanyakannya tapi keduluan Rifky.
“Soal kamu” kata Ririn sambil melihat kearahku. HAH?! Apa maksudnya? Apa mereka benar-benar bicara soal aku? Mereka ngomongin soal apa?
“Loh? Kok soal aku? Emang dia bilang apa aja?” tanyaku yang benar-benar penasaran.
“Dia bilang… sejak kapan kita sama-sama terus, pokoknya soal kamu deh!” katanya lagi. “Kok dia gak ngomong soal aku sih?” sambungnya.
“Mungkin… dia juga gugup, Rin. Udahlah, kita coba lagi yang lain yuk?” tawarku, dia lalu tersenyum. “Nah, rencana selanjutnya apa?” tanya Rifky.
“Sapa, ajak ngobrol, pulang bareng.” Jawab Ririn. “Setidaknya aku tahu kalau jalan rumahnya sejalan dengan kita, tapi dia gak naik angkot yang sama.”
“Dia naik angkot apa emang?” angkot biru, strep abu-abu yang menuju syech yusuf.
“Angkot biru, strep abu-abu yang menuju syech yusuf.” Jawab Ririn lagi. BINGO.
“Nah, kamu kan juga menuju kesitu” kata Rifky. Cih, anak geng motor emang gak tau apa-apa soal angkot. “Kalau aku sih bisa lewat situ, tapi kalo Ririn nggak” kataku.
“Loh? Kenapa?” katanya. Ugh. “Soalnya kalo Ririn naik angkot strep abu-abu bukannya jingga, dia bakal jaaauuuuh jalan masuk kerumahnya.” Jelasku.
“ngorbanin kaki untuk jalan gak papa lagi, setidaknya kalian bisa lebih dekat” kata Rifky.

“Iya juga sih”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...