Minggu, 30 November 2014

Can't Hear YL #part 2


Dan disini lah gue. Berada di dalam BK, dan didepanku ada guru BK yang lumayan SANGAR, yaitu bu Ikah. Gue tahu gue salah telah bebasin mereka dari hukuman, tapi bukan berarti gue harus dihukum sedangkan mereka enak-enakan pacaran berdua.
“blablablablaa… jadi kamu ngerti kan? Ibu sudah beri tahu kamu sebelumnya, bahwa bila Ibu memeriksa kembali lalu masih ada siswa yang masih tinggal, kamu yang akan ibu hukum. Apalagi kalau orang pacaran, sekolah memulangkan cepat kalian karena aka nada demo besar-besaran, bahkan eskulpun tidak dilaksanakan. Dan yang lebih parahnya lagi, kamu telah membohongi Ibu. Jadi… hukuman apa yang pantas buat kamu?” tanyanya dengan nada menekan. Yang gue mau ini semua akan berakhir dengan cepat. Gue bosan duduk disini.

“Terserah Ibu saja, saya akan terima hukumannya dengan lapang dada” jawabku seadanya. “sebelum itu, kamu harus menceritakan apa yang terjadi sehingga kamu berbuat demikian” katanyalagi. Ya ampuun.
“Iseng aja bu, saya pengen hiburan” jawaban gue memang seadanya. Gue menjawab sesuai dengan apa yang gue pikirkan, dan itu membuat gue tambah di hukum. Gue hanya bisa pasrah.

Gue dihukum dengan berlari keliling sekolah yang super besar ini (bukan maunya sombong, tapi sekolahmu akan terasa benar-benar besar bila kau berlari mengelilinginya), plus poin sebesar 15 poin. Setidaknya itu poin pertamaku. Kalo sampai 100 mau tidak mau gue harus get out from this school.
Gue berlari dengan celana olahraga. Gue heran bagaimana bisa guru BK menyediakan celana olahraga, apa mereka tahu bakal ada siswa yang mempunyai alasan tidak bisa berlari karena menggunakan rok? Entahlah, mungkin mereka punya indra keenam.
Tak sedikit siswa lain melirik kearahku sambil berbisik satu sama lain, atau melihat dari jendela dalam kelas mereka dan bertanya-tanya mengapa gue lari. Sebagai calon atlet basket, gue sudah terbiasa berlari. Itu benar. gue ikut basket. Tapi capek juga sih berlari selama 10 putaran tanpa membawa bola basket. Maksudku, setidaknya gue suka lari kalo sedang mendrible bola.
Akhirnya gue selesai 10 putaran. Ke-10 putaran gue langsung tepar di koridor. Gue gak peduli kotor atau bersih. Gue benar-benar capek. Pas ketika putaran ke-10 bel istirahat berbunyi. Siswa-siswi berjalan keluar kelas, gue juga segera bangun dan duduk di kursi pinggir koridor, meski gue masih pengen bebaring. Napas gue masih terdengar dengan jelas, baju seragam gue basah total. Gue nunduk membiarkan panas dalam tubuh gue keluar.
“Nih. Lo benar-benar keringatan” kata seseorang di depan gue. Dia berdiri tepat didepanku sambil menyerahkan air mineral lemon. “Thanks” gue segera mengambilnya. Dhia lalu duduk di sebelah gue.
“Thanks ya…” Dhia mengucapkannya dengan perlahan. Gue segera meneguk habis minuman lemon itu. “buat apa?” tanya gue.
“Lo dihukum gara-gara kami… seharusnya waktu itu gue sama Emil benar-benar percaya pesan lo. Gue gak habis pikir akan jadi begini. Seharusnya juga, kami yang dihukum bukan lo” katanya panjang lebar. Dengan berpisahnya kalian aja gue udah sujud syukur. Batinku.
“Gak papa, udah ya, gue mau menghadap lagi…” gue segera meninggalkannya. Gue gak betah duduk manis disampingnya. Gue melangkah masuk kedalam Bk. Yaah… setidaknya, disini ber-AC.

“Bego” kata Emil saat gue masuk kelas. Dia menepuk kepalaku dengan buku catatan matematika. Gue hanya mengelus kepalaku dan segera duduk dibangkuku.
“Lo seharusnya biarin kita.” Katanya lagi, “Lo seharusnya baca pesan gue” balasku  tanpa memandangnya. Gue segera mengambil headset dari dalam tas, dan mendengarkan musik.
Dia menarik sebelah kiri headsetku. “Jangan lo ulangi tingkah tolol lo itu..” katanya lagi. Gue hanya bisa menatapnya tanpa ekspresi.
“Gue kan jadi berutang budi sama elo, nih, catatan matematika. Gue udah nulis rapi-rapi, buat lo contekin, minggu depan ulangan.” Katanya lagi. Dia berbalik tapi segera mungkin aku mengatakan, “Dengan bicara kembali dengan elo pun gue udah bersyukur banget…”
Dia hanya menoleh dan tersenyum. Sial, gue semakin suka sama dia.

“Lo udah dapat batunya kan? Nah sekarang waktunya lo cerita ke gue.” Kata Nugi sambil memegang dua helm. “Gue benar-benar malas.” Kata gue.
“Sampai kapan sih lo malas terus? Gue capek nungguin kemalasan lo” katanya. Gue akhirnya menceritakan semuanya. Dari titik nol sampai sekarang. Sambil dengar headset di telingan kanan. Tiba-tiba aja, wajah NUgi berubah.
“Telinga lo berdarah, Mel.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...