Dan
disini lah gue. Berada di dalam BK, dan didepanku ada guru BK yang lumayan
SANGAR, yaitu bu Ikah. Gue tahu gue salah telah bebasin mereka dari hukuman,
tapi bukan berarti gue harus dihukum sedangkan mereka enak-enakan pacaran
berdua.
“blablablablaa…
jadi kamu ngerti kan? Ibu sudah beri tahu kamu sebelumnya, bahwa bila Ibu
memeriksa kembali lalu masih ada siswa yang masih tinggal, kamu yang akan ibu hukum.
Apalagi kalau orang pacaran, sekolah memulangkan cepat kalian karena aka nada demo
besar-besaran, bahkan eskulpun tidak dilaksanakan. Dan yang lebih parahnya
lagi, kamu telah membohongi Ibu. Jadi… hukuman apa yang pantas buat kamu?”
tanyanya dengan nada menekan. Yang gue mau ini semua akan berakhir dengan cepat.
Gue bosan duduk disini.
“Terserah
Ibu saja, saya akan terima hukumannya dengan lapang dada” jawabku seadanya. “sebelum
itu, kamu harus menceritakan apa yang terjadi sehingga kamu berbuat demikian”
katanyalagi. Ya ampuun.
“Iseng
aja bu, saya pengen hiburan” jawaban gue memang seadanya. Gue menjawab sesuai
dengan apa yang gue pikirkan, dan itu membuat gue tambah di hukum. Gue hanya
bisa pasrah.
Gue
dihukum dengan berlari keliling sekolah yang super besar ini (bukan maunya
sombong, tapi sekolahmu akan terasa benar-benar besar bila kau berlari
mengelilinginya), plus poin sebesar 15 poin. Setidaknya itu poin pertamaku. Kalo
sampai 100 mau tidak mau gue harus get
out from this school.
Gue
berlari dengan celana olahraga. Gue heran bagaimana bisa guru BK menyediakan
celana olahraga, apa mereka tahu bakal ada siswa yang mempunyai alasan tidak
bisa berlari karena menggunakan rok? Entahlah, mungkin mereka punya indra
keenam.
Tak
sedikit siswa lain melirik kearahku sambil berbisik satu sama lain, atau
melihat dari jendela dalam kelas mereka dan bertanya-tanya mengapa gue lari. Sebagai
calon atlet basket, gue sudah terbiasa berlari. Itu benar. gue ikut basket. Tapi
capek juga sih berlari selama 10 putaran tanpa membawa bola basket. Maksudku,
setidaknya gue suka lari kalo sedang mendrible bola.
Akhirnya
gue selesai 10 putaran. Ke-10 putaran gue langsung tepar di koridor. Gue gak
peduli kotor atau bersih. Gue benar-benar capek. Pas ketika putaran ke-10 bel
istirahat berbunyi. Siswa-siswi berjalan keluar kelas, gue juga segera bangun
dan duduk di kursi pinggir koridor, meski gue masih pengen bebaring. Napas gue
masih terdengar dengan jelas, baju seragam gue basah total. Gue nunduk
membiarkan panas dalam tubuh gue keluar.
“Nih.
Lo benar-benar keringatan” kata seseorang di depan gue. Dia berdiri tepat
didepanku sambil menyerahkan air mineral lemon. “Thanks” gue segera mengambilnya.
Dhia lalu duduk di sebelah gue.
“Thanks
ya…” Dhia mengucapkannya dengan perlahan. Gue segera meneguk habis minuman
lemon itu. “buat apa?” tanya gue.
“Lo
dihukum gara-gara kami… seharusnya waktu itu gue sama Emil benar-benar percaya
pesan lo. Gue gak habis pikir akan jadi begini. Seharusnya juga, kami yang
dihukum bukan lo” katanya panjang lebar. Dengan
berpisahnya kalian aja gue udah sujud syukur. Batinku.
“Gak
papa, udah ya, gue mau menghadap lagi…” gue segera meninggalkannya. Gue gak
betah duduk manis disampingnya. Gue melangkah masuk kedalam Bk. Yaah…
setidaknya, disini ber-AC.
“Bego”
kata Emil saat gue masuk kelas. Dia menepuk kepalaku dengan buku catatan
matematika. Gue hanya mengelus kepalaku dan segera duduk dibangkuku.
“Lo
seharusnya biarin kita.” Katanya lagi, “Lo seharusnya baca pesan gue”
balasku tanpa memandangnya. Gue segera
mengambil headset dari dalam tas, dan mendengarkan musik.
Dia
menarik sebelah kiri headsetku. “Jangan lo ulangi tingkah tolol lo itu..”
katanya lagi. Gue hanya bisa menatapnya tanpa ekspresi.
“Gue
kan jadi berutang budi sama elo, nih, catatan matematika. Gue udah nulis
rapi-rapi, buat lo contekin, minggu depan ulangan.” Katanya lagi. Dia berbalik
tapi segera mungkin aku mengatakan, “Dengan bicara kembali dengan elo pun gue
udah bersyukur banget…”
Dia
hanya menoleh dan tersenyum. Sial, gue semakin suka sama dia.
“Lo
udah dapat batunya kan? Nah sekarang waktunya lo cerita ke gue.” Kata Nugi
sambil memegang dua helm. “Gue benar-benar malas.” Kata gue.
“Sampai
kapan sih lo malas terus? Gue capek nungguin kemalasan lo” katanya. Gue akhirnya
menceritakan semuanya. Dari titik nol sampai sekarang. Sambil dengar headset di
telingan kanan. Tiba-tiba aja, wajah NUgi berubah.
“Telinga
lo berdarah, Mel.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar