Gue Melo. Cewek golongan darah O dan
berzodiak sagitarius. Banyak yang bilang klo gue gak pernah galau tentang
cowok. Dan banyak juga yang mengatakan klo gue sifatnya kayak anak-anak, jail
dan moodmaker. Gue gak tau kenapa.
Tapi gue juga gak pernah mengelak
pendapat teman gue tentang diri gue sendiri. Meski mereka semua memandangku
selalu tertawa bersama mereka, tersenyum dan berbagai hal, sebetulnya mereka
tidak mengenal gue. Mereka gak tau tentang satu hal. Dan gue belum bisa mastiin
tentang hal itu.
Gue suka sama ketua kelas.
Gue melampiaskan rasa suka gue dengan
memanggilnya ‘bebebs’ hanya untuk bermain. Konyol memang, tapi dengan begitu
teman-teman gue gak bakal tahu dan mereka menganggapku bercanda. Kadang, kalau
lagi freeclass, gue dan Emil bicara tentang banyak hal, dengar lagu pake
headset berdua sambil ngerjain tugas, menulisi buku atau tangan satu sama lain,
dan masih banyak lagi yang kami lakukan.
Sampai suatu ketika, entah apa yang
terjadi, Dhia masuk kedalam kehidupan Emil. Awalnya, gue mengacuhkannya. Tapi….
Gue merasa dia mulai dekat dengan Emil. Setiap mereka berdua berbicara, pasti
deh gue datang dan nanya Gaje ke Emil kayak “Lo liat pulpen gue gak?” padahal
jelas-jelas ada dikantong gue.
Gue hanya gak mau Emil bicara banyak
dengan Dhia. Gue memang egois, dan gue tahu itu. Selain itu, gue juga mulai
curiga. Soalnya sahabatnya Dhia yaitu Qilah selalu menanyaiku soal gue suka
sama Emil atau nggak. Tapi karena bawaan jail, gue hanya senyum-senyum
misterius. Tapi setahu gue, Dhia suka sama Rio, bukan sama Emil.
Sampai saat mereka benar-benar dekat,
gue seakan dilempar keluar secara paksa dari kehidupan Emil. Gue jarang bicara
dengannya. Bahkan bila gue dengan sengaja duduk di tempat favorit gue yaitu di
bangku belakang dekat jendela dan di depan bangku itu adalah tempat duduk Emil,
dia sama sekali tidak balik belakang. Menoleh saja tidak. Padahal gue ingat
kalau gue duduk disini dia bakal berbalik dan kami akan ngobrol lagi.
Akhirnya, hari dimana hari yang paling
gue takuti datang juga. Saat selesai shalat Jum’at daan gue masuk kedalam
kelas, tiba-tiba aja semua teman gue teriak “PJ, PJ.. ciiee..” gue bingung. Apa
yang terjadi? Siapa yang pacaran? Dan dengan sigap gue nanya ke Nurul. Dan seperti
dugaanku. Emil dan Dhia pacaran. Ugh! Tolong, bisakah gue menghilang untuk
sementara waktu?
Malamnya gue stalker twitter,
facebook, sampai BBM mereka. Dan semua tertulis tanggal ‘14’. Gue pengen
nangis. Tapi gue gak tau kenapa. Apa karena gue benar-benar suka sama Emil atau
sesuatu yang lain. Gue bingung, dan pada saat itu jug ague pengen cerita sama
orang lain, tapi gue ragu. Gue ragu dengan rasa suka gue. Dan saat itu jug ague
pikir bisa melalui ini semua sendiri. Tapi gue gak bakal tahu… apa gue mampu
atau tidak.
Esoknya dikelas masih sibuk
membicaran soal Emil dan Dhia. Gue sengaja membawa headset saat itu, gue tahu,
gue gak sanggup mendengar tentang mereka. Gue dengan sengaja mengeraskan volume
music di hp gue sampai memekakan telinga. Tapi gue gak peduli. Gue hanya hari
ini berlalu dengan cepat dan menjadi hari biasa bagiku.
Gue menjalani berminggu-minggu dengan
mendengar headset. Gue tahu dengan mendengar lagu gue bisa menjadi diri gue
lagi. Dan berminggu-minggu lamanya gue gak pernah sekalipun bicara dengan Emil.
Gue hanya merasa gak berhak. Emil sudah menjadi milik Dhia. Selain itu, dia
juga selalu menghindari gue. Dan saat itu terjadi gue bakal merasa benar-benar
telah dilupakan.
Semakin mereka berdua menjadi dekat,
gue menutup semua panca indra yang berhubungan dengan melihat, mendengar dan
berbicara dengan mendengarkan lagu dan menyanyi sekencang mungkin. Gue merasa
bahagia kembali saat melakukan hal itu. Meski
lagu yang gue putar sudah sangat bosan gue dengarin.
Sampai ketika gue gak sengaja masuk
kedalam kelas saat semua siswa sudah wajib pulang. Dan tebak saja siapa yang
masih ada di dalam kelas? Tentu saja Emil dan Dhia. Gue tahu sewaktu gue muncul
di pintu, Emil melirik kearah gue, tapi dengan secepat kilat gue menghilang. Gue
berniat kembali ke gerbang, tapi dari jauh gue melihat Guru BK yang sedang
bertugas memeriksa semua kelas. Awalnya gue gak peduli, sebelum gue dimarahi. Kemudian,
gue mengingat mereka berdua. Apa yang akan terjadi bila mereka di lihat oleh
seorang guru? Tanpa pikir panjang gue menghampiri guru BK itu.
“Eeeh.. Bu? Ibu Fatwa memanggil Ibu,
katanya penting” kataku, dalam hati hatiku serasa ingin melompat keluar dan
melarikan diri. Bu Ikah sempat ragu. Kemudian mengangguk, “Baik, nanti saya
kesana, Ibu mau periksa semua kelas dulu” katanya, sekali lagu jantung gue
pengen lari, tapi batin gue menahannya dengan segenap jiwa dan raga yang masih
ada.
“Biar saya saja, bu yang menggantikan
Ibu memeriksa kelas…” kataku dengan wajah yang yakin. Dia sempat ragu lalu
mengangguk dan menepuk pundakku, seraya berkata “Kerjakanlah dengan segenap
jiwa mu”. Bu Ikah berbalik dan pergi, tapi tiba-tiba saja di berbalik. “Kalau
sampai ada yang masih tinggal di kelas, kau yang akan menggantikan mereka..”
katanya. Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri.
Gue berlari secepat mungkin ke kelas
gue. Di depan kelas gue bungkuk supaya gak kelihatan, gue ngeluarin secarik
kertas dan menulis
“PULANG, SEBELUM BU IKAH DATANG”
Gue mengetuk jendela dan memasukkan
kertas itu. Gue hanya bisa berdoa sekarang. Gue berjalan menjauh dari kelas gue
sendiri dan memeriksa kelas lain. Jika mereka memang mempunyai otak, mereka
akan sesegera mungkin meninggalkan kelas. Tak henti-hentinya gue nengok
kebelakang mastiin mereka sudah benar-benar keluar atau tidak. Dengan hati
was-wasan gue memeriksa semua kelas.
Gue jalan dengan cepat sebelum Bu
Ikah menemukanku. Apa yang aka gue katakana kepadanya bila dia tahu gue bohong?
Gue dengar dari jauh suara Bu Ikah yang memanggilku. Gue gak berusaha
mempercepat langkah, sangat mencurigakan bila itu gue lakukan. Gue berpikir apa
yang akan gue lakukan. Dan ide gila pun terlintas dikepala gue.
“Halo? Iya, iya… Ma, Melo udah mau
sampai di gerbang… iya udah kok, eehh.. nggak” benar. gue pura-pura nelpon, dan
gue sengaja mengeraskan suara gue supaya bu Ikah tahu gue lagi nelpon. Sambil bicara
ngawur di hp yang lowbet, gue mulai lari. Gue gak nyangka bakal melakukan ini.
jantung gue sekarang sudah benar-benar hilang!
Di gerbang gue melihat Nugi. “Woi! Lo
kemana aja? Capek tau nungguinnya..” keluhnya. Nugi adalah tukang ojek
langganan gue. Okeh, gue akuin. Nugi adalah teman cowok pertama gue selama 15
tahun. Kami sudah bertetangga dan mengenal satu sama lain dari bayi. Dan dia
selalu menjemput dan mengantarku pulang.
“Udah, ayo! Cepat, gue dikejar bu
Ikah” jawab gue sambil narik dia yang lagi kebingungan. Gue dengan sigap
mengambil helm, dan naik di belakangnya. Dan secepat kijang berlari kami telah
sampai dirumah gue.
“Lo ngapain tadi?” katanya saat gue
turun dari motor dan bersiap membuka pagar rumah. “Panjang.” Jawab gue cuek.
“Soal lo dikejar sama Bu Ikah juga
panjang?” tanyanya.
“Sssstt!! Jangan keras-keras, nanti
deh gue ceritain. Panjang soalnya” kata gue yang sudah berada di sisi lain
pagar rumah meninggalkan Nugi yang maasih bersama motornya.
“Termasuk soal Emil dan Dhia?” gue
berhenti seketika. Tunggu… dari mana dia tahu kalau Emil ada sangkutannya?
“Dari mana lo tau?” gue balik badan
dan mendapatinya menghela napas.
“Gue kenal lo sejak lo bayi.15 tahun.
Lo kira lo bisa nyembunyiin itu dari gue?” tanyanya. Gue tahu Nugi memang bisa
membaca pikiran orang, dan setiap gue bilang begitu dia selalu mengatakan itu
semua adalah pengetahuan umum.
“Pokoknya jangan bilang siapa-siapa!”
seruku dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Gue sekarang merasa wajah gue
panas. Gue sempat ngintip dari jendela dan mendapatinya tertawa kecil. Cih! Gue
tau gue gak bisa menyemmbunyikan apapun darinya tapi, sangat menjengkelkan
melihatnya tertawa seperti itu. Seakan-akan rahasia ku adalah pengetahuan umum
sungguhan, maksudku… seperti semua orang tahu bahwa kita memerlukan oksigen
untuk bernapas.
Gue masuk kedalam kelas dengan
headset yang sudah nangkring di telinga gue. Gue udah lupa dengan kejadian
kemarin sampai ketika, seseorang mencariku dan mengatakan kalau bu Ikah
memanggilku.
DEG! Gue pun ingat kalau gue belum
benar-benar menyelesaikannya kemarin. Gawat!
“Ya, bu? Apa benar Ibu memanggil
saya?” kataku dengan nada rileks dan sesopan mungkin. “Ya, benar… silahkan
duduk.”
Gue duduk tepat didepan meja bu Ikah.
Perlahan dia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya. “Ibu kira ini adalah
tulisan tanganmu, apa benar? dan juga… Kamu telah membebaskan siswa yang
seharusnya dihukum sekarang karena tidak meninggalkan kelas saat jam pulang.”
Sekarang gue merasa jantung gue
benar-benar hilang. Dan gue harus mencarinya. Tapi, tidak ada yang bisa gue
lakukan kecuali menghadapi ini semua.
“Dan satu hal lagi… tidak ada yang
memanggil ibu, dengan alasan penting”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar