Selasa, 18 November 2014

Can't Hear YL. #part 1

Gue Melo. Cewek golongan darah O dan berzodiak sagitarius. Banyak yang bilang klo gue gak pernah galau tentang cowok. Dan banyak juga yang mengatakan klo gue sifatnya kayak anak-anak, jail dan moodmaker. Gue gak tau kenapa.
Tapi gue juga gak pernah mengelak pendapat teman gue tentang diri gue sendiri. Meski mereka semua memandangku selalu tertawa bersama mereka, tersenyum dan berbagai hal, sebetulnya mereka tidak mengenal gue. Mereka gak tau tentang satu hal. Dan gue belum bisa mastiin tentang hal itu.
Gue suka sama ketua kelas.
Gak satupun dari mereka yang tahu akan kebenaran ini. gue pendam rasa suka gue. Gue sdh merasa nyaman dengan zona pertemanan kami. Gue hanya takut dengan terbongkarnya rahasia gue itu, Emil sang ketua kelas akan menjauhiku. Dan gue sama sekali gak mau hal itu terjadi.
Gue melampiaskan rasa suka gue dengan memanggilnya ‘bebebs’ hanya untuk bermain. Konyol memang, tapi dengan begitu teman-teman gue gak bakal tahu dan mereka menganggapku bercanda. Kadang, kalau lagi freeclass, gue dan Emil bicara tentang banyak hal, dengar lagu pake headset berdua sambil ngerjain tugas, menulisi buku atau tangan satu sama lain, dan masih banyak lagi yang kami lakukan.
Sampai suatu ketika, entah apa yang terjadi, Dhia masuk kedalam kehidupan Emil. Awalnya, gue mengacuhkannya. Tapi…. Gue merasa dia mulai dekat dengan Emil. Setiap mereka berdua berbicara, pasti deh gue datang dan nanya Gaje ke Emil kayak “Lo liat pulpen gue gak?” padahal jelas-jelas ada dikantong gue.
Gue hanya gak mau Emil bicara banyak dengan Dhia. Gue memang egois, dan gue tahu itu. Selain itu, gue juga mulai curiga. Soalnya sahabatnya Dhia yaitu Qilah selalu menanyaiku soal gue suka sama Emil atau nggak. Tapi karena bawaan jail, gue hanya senyum-senyum misterius. Tapi setahu gue, Dhia suka sama Rio, bukan sama Emil.
Sampai saat mereka benar-benar dekat, gue seakan dilempar keluar secara paksa dari kehidupan Emil. Gue jarang bicara dengannya. Bahkan bila gue dengan sengaja duduk di tempat favorit gue yaitu di bangku belakang dekat jendela dan di depan bangku itu adalah tempat duduk Emil, dia sama sekali tidak balik belakang. Menoleh saja tidak. Padahal gue ingat kalau gue duduk disini dia bakal berbalik dan kami akan ngobrol lagi.
Akhirnya, hari dimana hari yang paling gue takuti datang juga. Saat selesai shalat Jum’at daan gue masuk kedalam kelas, tiba-tiba aja semua teman gue teriak “PJ, PJ.. ciiee..” gue bingung. Apa yang terjadi? Siapa yang pacaran? Dan dengan sigap gue nanya ke Nurul. Dan seperti dugaanku. Emil dan Dhia pacaran. Ugh! Tolong, bisakah gue menghilang untuk sementara waktu?
Malamnya gue stalker twitter, facebook, sampai BBM mereka. Dan semua tertulis tanggal ‘14’. Gue pengen nangis. Tapi gue gak tau kenapa. Apa karena gue benar-benar suka sama Emil atau sesuatu yang lain. Gue bingung, dan pada saat itu jug ague pengen cerita sama orang lain, tapi gue ragu. Gue ragu dengan rasa suka gue. Dan saat itu jug ague pikir bisa melalui ini semua sendiri. Tapi gue gak bakal tahu… apa gue mampu atau tidak.
Esoknya dikelas masih sibuk membicaran soal Emil dan Dhia. Gue sengaja membawa headset saat itu, gue tahu, gue gak sanggup mendengar tentang mereka. Gue dengan sengaja mengeraskan volume music di hp gue sampai memekakan telinga. Tapi gue gak peduli. Gue hanya hari ini berlalu dengan cepat dan menjadi hari biasa bagiku.
Gue menjalani berminggu-minggu dengan mendengar headset. Gue tahu dengan mendengar lagu gue bisa menjadi diri gue lagi. Dan berminggu-minggu lamanya gue gak pernah sekalipun bicara dengan Emil. Gue hanya merasa gak berhak. Emil sudah menjadi milik Dhia. Selain itu, dia juga selalu menghindari gue. Dan saat itu terjadi gue bakal merasa benar-benar telah dilupakan.
Semakin mereka berdua menjadi dekat, gue menutup semua panca indra yang berhubungan dengan melihat, mendengar dan berbicara dengan mendengarkan lagu dan menyanyi sekencang mungkin. Gue merasa bahagia kembali saat melakukan  hal itu. Meski lagu yang gue putar sudah sangat bosan gue dengarin.
Sampai ketika gue gak sengaja masuk kedalam kelas saat semua siswa sudah wajib pulang. Dan tebak saja siapa yang masih ada di dalam kelas? Tentu saja Emil dan Dhia. Gue tahu sewaktu gue muncul di pintu, Emil melirik kearah gue, tapi dengan secepat kilat gue menghilang. Gue berniat kembali ke gerbang, tapi dari jauh gue melihat Guru BK yang sedang bertugas memeriksa semua kelas. Awalnya gue gak peduli, sebelum gue dimarahi. Kemudian, gue mengingat mereka berdua. Apa yang akan terjadi bila mereka di lihat oleh seorang guru? Tanpa pikir panjang gue menghampiri guru BK itu.
“Eeeh.. Bu? Ibu Fatwa memanggil Ibu, katanya penting” kataku, dalam hati hatiku serasa ingin melompat keluar dan melarikan diri. Bu Ikah sempat ragu. Kemudian mengangguk, “Baik, nanti saya kesana, Ibu mau periksa semua kelas dulu” katanya, sekali lagu jantung gue pengen lari, tapi batin gue menahannya dengan segenap jiwa dan raga yang masih ada.
“Biar saya saja, bu yang menggantikan Ibu memeriksa kelas…” kataku dengan wajah yang yakin. Dia sempat ragu lalu mengangguk dan menepuk pundakku, seraya berkata “Kerjakanlah dengan segenap jiwa mu”. Bu Ikah berbalik dan pergi, tapi tiba-tiba saja di berbalik. “Kalau sampai ada yang masih tinggal di kelas, kau yang akan menggantikan mereka..” katanya. Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri.
Gue berlari secepat mungkin ke kelas gue. Di depan kelas gue bungkuk supaya gak kelihatan, gue ngeluarin secarik kertas dan menulis
“PULANG, SEBELUM BU IKAH DATANG”
Gue mengetuk jendela dan memasukkan kertas itu. Gue hanya bisa berdoa sekarang. Gue berjalan menjauh dari kelas gue sendiri dan memeriksa kelas lain. Jika mereka memang mempunyai otak, mereka akan sesegera mungkin meninggalkan kelas. Tak henti-hentinya gue nengok kebelakang mastiin mereka sudah benar-benar keluar atau tidak. Dengan hati was-wasan gue memeriksa semua kelas.
Gue jalan dengan cepat sebelum Bu Ikah menemukanku. Apa yang aka gue katakana kepadanya bila dia tahu gue bohong? Gue dengar dari jauh suara Bu Ikah yang memanggilku. Gue gak berusaha mempercepat langkah, sangat mencurigakan bila itu gue lakukan. Gue berpikir apa yang akan gue lakukan. Dan ide gila pun terlintas dikepala gue.
“Halo? Iya, iya… Ma, Melo udah mau sampai di gerbang… iya udah kok, eehh.. nggak” benar. gue pura-pura nelpon, dan gue sengaja mengeraskan suara gue supaya bu Ikah tahu gue lagi nelpon. Sambil bicara ngawur di hp yang lowbet, gue mulai lari. Gue gak nyangka bakal melakukan ini. jantung gue sekarang sudah benar-benar hilang!
Di gerbang gue melihat Nugi. “Woi! Lo kemana aja? Capek tau nungguinnya..” keluhnya. Nugi adalah tukang ojek langganan gue. Okeh, gue akuin. Nugi adalah teman cowok pertama gue selama 15 tahun. Kami sudah bertetangga dan mengenal satu sama lain dari bayi. Dan dia selalu menjemput dan mengantarku pulang.
“Udah, ayo! Cepat, gue dikejar bu Ikah” jawab gue sambil narik dia yang lagi kebingungan. Gue dengan sigap mengambil helm, dan naik di belakangnya. Dan secepat kijang berlari kami telah sampai dirumah gue.
“Lo ngapain tadi?” katanya saat gue turun dari motor dan bersiap membuka pagar rumah. “Panjang.” Jawab gue cuek.
“Soal lo dikejar sama Bu Ikah juga panjang?” tanyanya.
“Sssstt!! Jangan keras-keras, nanti deh gue ceritain. Panjang soalnya” kata gue yang sudah berada di sisi lain pagar rumah meninggalkan Nugi yang maasih bersama motornya.
“Termasuk soal Emil dan Dhia?” gue berhenti seketika. Tunggu… dari mana dia tahu kalau Emil ada sangkutannya?
“Dari mana lo tau?” gue balik badan dan mendapatinya menghela napas.
“Gue kenal lo sejak lo bayi.15 tahun. Lo kira lo bisa nyembunyiin itu dari gue?” tanyanya. Gue tahu Nugi memang bisa membaca pikiran orang, dan setiap gue bilang begitu dia selalu mengatakan itu semua adalah pengetahuan umum.
“Pokoknya jangan bilang siapa-siapa!” seruku dan segera berlari masuk ke dalam rumah. Gue sekarang merasa wajah gue panas. Gue sempat ngintip dari jendela dan mendapatinya tertawa kecil. Cih! Gue tau gue gak bisa menyemmbunyikan apapun darinya tapi, sangat menjengkelkan melihatnya tertawa seperti itu. Seakan-akan rahasia ku adalah pengetahuan umum sungguhan, maksudku… seperti semua orang tahu bahwa kita memerlukan oksigen untuk bernapas.
Gue masuk kedalam kelas dengan headset yang sudah nangkring di telinga gue. Gue udah lupa dengan kejadian kemarin sampai ketika, seseorang mencariku dan mengatakan kalau bu Ikah memanggilku.
DEG! Gue pun ingat kalau gue belum benar-benar menyelesaikannya kemarin. Gawat!
“Ya, bu? Apa benar Ibu memanggil saya?” kataku dengan nada rileks dan sesopan mungkin. “Ya, benar… silahkan duduk.”
Gue duduk tepat didepan meja bu Ikah. Perlahan dia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya. “Ibu kira ini adalah tulisan tanganmu, apa benar? dan juga… Kamu telah membebaskan siswa yang seharusnya dihukum sekarang karena tidak meninggalkan kelas saat jam pulang.”
Sekarang gue merasa jantung gue benar-benar hilang. Dan gue harus mencarinya. Tapi, tidak ada yang bisa gue lakukan kecuali menghadapi ini semua.

“Dan satu hal lagi… tidak ada yang memanggil ibu, dengan alasan penting”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...