Kamis, 20 November 2013
Aku berjalan pulang dari sekolah, sangat
melelahkan. Dulu, bila aku telah pulang dari sekolah, aku biasanya dijemput
oleh Ayahku. Tapi sekarang dia tak bisa lagi mengantar jemputku. Karena
tempatnya bekerja baru-baru ini bangkrut, dia terpaksa menjual motornya. Dan
sekarang aku harus membiasakan diri untuk pergi dan pulang dengan berjalan
kaki. Sulit memang, karena jarak sekolahku dan rumah cukup jauh, sekitar 2 kilo
meter. Tapi sekarang aku mulai terbiasa
dengan kehidupanku yang sangat sederhana ini.
“Assalamu’alaikum…” kataku ketika memasuki pintu rumahku yang berwarna cokelat terkelupas. “Wa’alaikumsalam” balas Ibuku dari arah dapur. Aku menghampirinya, “Ibu sudah sehat?” kataku, akhir-akhir ini Ibuku selalu sakit kepala.
“Ya, uhuk.. uhuk.. Ibu baik-baik saja
kok” katanya memaksakan diri. Aku memandangnya dengan prihatin. “Ibu lagi apa?”
tanyaku lagi berusaha membelokkan percakapan.
“Nih, buat pisang goreng. Kakak mau?”
katanya, sambil sibuk membolak-balik gorengannya. Aku memandang ke arah pisang
goreng itu lalu mengangguk.
“Iya, mau.. aku ganti baju dulu, yah”
Kataku yang dibalas dengan anggukan oleh Ibuku. Aku segera mengganti bajuku.
Setelah selesai, aku segera kembali ke dapur dan membuat pisang goreng.
“Bu, kok pisang gorengnya banyak sekali?”
tanyaku sambil melihat ke arah pisang goreng yang telah digoreng Ibu
sebelumnya.
“Iya, Ibu bermaksud untuk menjualnya.”
Katanya, aku lalu mengangguk-ngagguk. “Tapi mau dititip di mana?” tanyaku.
“Rencananya sih, Ibu mau titip di bu
Aminah saja. Gorengan yang dia jual laris manis semua.” Kata Ibu sambil
tersenyum. Baru kali ini Ibu menjual gorengan. Kurasa Ibu ingin meringankan
tugas Ayah untuk menafkahi kami. Setalah semua pisang digoreng, aku segera
membawanya ke bu Aminah.
“Assalamu’alaikum, bu… apa saya bisa
menitip pisang goreng Ibu saya disini?” tanyaku sopan. Bu Aminah memandang ke
arah pisang goreng yang ku bawa. Dia lalu mengangguk. Sungguh senang rasanya,
aku langsung memberikan pisang goreng itu ke bu Aminah.
Ketika pulang ke rumah, aku melihat
adikku –Maya, menghampiriku dengan panik. “Kak! Ibu, Ibu pingsan!” Katanya
sambil berlinang air mata. Aku segera berlari ke arah Ibuku. Kulihat Ibu
terbaring lemah di lantai dapur.
“Ibu! Bu, bangun!” kataku. Aku
mengguncang-guncang tubuhnya yang kurus itu. Tanpa berpikir panjang, kuangkat
Ibuku menuju kamar. Kubaringkan Ibuku di atas kasur lepeknya. Aku mengambil
bantal lalu menaruhnya di bawah kakinya, serta menciumkan minyak kayu putih. Di
sampingku, Maya tak henti-hentinya menangis.
“Sudahlah, Ibu tak apa-apa. Berhentilah
menangis!” kataku, Maya lalu menghentikan tangisannya. Kami berdua menunggu Ibu
untuk siuman.
“Kak, apa tidak sebaiknya kita
menghubungi Ayah dan menyuruhnya cepat pulang?” usul Maya. Aku segera
menggelengkan kepala tanda tak setuju.
“Ibu baik-baik saja. Kita tidak
seharusnya mengganggu Ayah, siapa tau dia sedang sibuk mencari pekerjaan dan
tak bisa diganggu.” Jelasku kepadanya yang masih tampak cemas. Ketika setengah
jam menunggu Ibu, akhirnya dia bangun juga. Ketika beliau bangun, aku segera
memeluknya.
“Jangan membuat kami khawatir.” Kataku
sambil memeluknya erat. Dia mengelus kepalaku yang masih mengenakan jilbab
hitam. Maya kembali menangis di sebelah sambil memeluk Ibuku.
Jum’at, 28 November 2013
Hari ini aku tidak ingin pergi ke
sekolah. Entah mengapa, aku tak ingin meninggalkan Ibuku. Semenjak dia pingsan,
keadaannya semakin memburuk, membuatku tidak tenang meninggalkannya dan juga
tak henti-hentinya aku berdoa agar beliau segera sembuh. Tapi hari ini aku
latihan basket, sungguh sulit untuk memutuskan.
Sebelum berangkat sekolah, aku
menghampiri Ibuku yang masih terbaring lemas di tempat tidurnya yang lepek,
ingin rasanya ku belikan tempat yang nyaman untuknya.
“Ibu, Miya pergi dulu yah…” pamitku
kepadanya. Aku mencium tanganya lalu memeluknya.
“Hati-hati, yah.. jaga dirimu baik-baik,
jaga adikmu, dan jangan membuat Ayah khawatir..” katanya lirih sambil mengusap
kepalaku. Tanpa kusadari, aku menangis di pelukannya. Hatiku tidak nyaman
meninggalkannya, meskipun nenek sekarang tinggal bersama kami. Aku mencium
kedua pipinya, dan segera berangkat ke sekolah.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya aku
mencemaskannya. Segudang pertanyaan menghampiri diriku, mengapa aku tak tenang
meninggalkannya? Mengapa Ibu pucat? Mengapa dia mengakatakan hal-hal aneh? Apa
dia sudah tak sanggup menjalani hidup? Tidak! Ibu akan baik-baik saja. Ya,
pasti.
Aku pulang kerumah dengan perasaan
was-was. Pertanyaan-pertanyaan mengerikan kembali menghampiriku, apa Ibu
baik-baik saja? Apa dia akan melihatku lagi?
Setelah membuka pintu kamarnya. Kulihat
Ibu tidur dengan pulas. Aku tersenyum melihatnya. Aku tidak ingin
mengganggunya, segera kutinggalkan kamar Ibuku dan pergi. Aku mengganti pakaian
sekolahku, lalu shalat ashar. Setelah itu, aku kembali berdoa kepada-Nya agar
Ibuku sembuh.
Sabtu, 29 November 2013
Aku bangun terlalu pagi hari ini. setelah
shalat subuh dan kembali berdoa kepada Allah serta berdzikir, aku segera
menghampiri Ibuku. Dengan al-qur’an di tanganku, aku bermaksud membacanya di
samping Ibuku.
Aku duduk di sampingnya yang tidur dengan
pulasnya. Aku mulai membaca. “Terima kasih…” terdengar suara lirih yang berasal
dari Ibuku di sela-sela mengajiku. Aku lalu berhenti dan mendengarnya.
“Ibu?” panggilku. Ibu lalu menghadap ke
arahku. Aku berbaring di sampingnya masih dengan mukenah dan al-qur’an di
tanganku. Beliau lalu membelai kepalaku lagi, sambil berusaha mengucapkan
sepatah kalimat. Aku menatapnya.
“Terima kasih… kau telah memberikanku
anugerah, kau telah memberiku gadis yang salehah dan pintar..” Katanya lirih. “Ibu…”
panggilku, dengan sekuat tenaga kutahan air mataku agar tidak membanjiri
pipiku.
“Aku selalu bersyukur atas semua yang kau
berikan. Jadi, bila Engkau harus mengambilku, aku tak akan keberatan. Meski tak
kulihat anak-anak yang kau berikan kepadaku tumbuh menjadi orang hebat, tak
apa… sekarang aku menitipkannya kembali
kepada-Mu” kata-katanya membuatku menangis sejadi-jadinya.
“Ibu… aku tak akan membiarkanmu pergi.
Jangan tinggalkan kami.” Kataku. Aku memeluknya sangat erat. Beliau membalas
pelukanku.
“Bu, aku telah berdoa kepada-Nya agar
menyembuhkanmu, jadi… jadi jangan khawatir, Ibu pasti akan sembuh…” bisikku
dalam pelukannya. Ibu hanya terdiam, dan tersenyum.
“Bu, bolehkah aku tak ke sekolah hari
ini?” tanyaku. Ibu mengangguk, masih tersenyum. “Miya, apa kau bisa membuatkan
Ibu secangkir teh? Ibu sangat suka dengan teh buatanmu.” Katanya. Aku segera
bangkit dan membuatkan teh untuknya.
Ketika aku masuk kembali ke kamar Ibuku
dengan secangkir teh, aku melihat Maya berbaring di sebalah Ibuku sambil menangis
dalam diam. Aku meletakkan cangkir teh di atas meja kecil samping kasur. Maya
memandangku dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Dia memandangku… dengan
pandangan yang sangat aneh.
“Ada apa?” tanyaku. Tapi dia terus
menatapku. Seakan disambar sesuatu, aku segera menyentuh Ibuku. Kulihat dia
masih tersenyum, namun sangat pucat. Dia menutup matanya dengan tenang. “Ibu?”
panggilku. Dia tak bergeming. Perasaan takutpun melandaku.
“Ibu?” panggilku sekali lagi. Maya
menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia sekarang duduk di samping Ibuku. “Ibu!
Bangun!!” jeritku. Aku mengguncang badannya yang lemah.
“Ibu!!” jeritku lagi, Maya menangis
sejadi-jadinya, “Jangan mengguncang Ibu seperti itu!! Ia akan kesakitan!!”
teriaknya sambil berusaha melepaskan genggamanku dari baju Ibuku. Aku menangis…
Selasa, 1 Januari 2014
Sudah satu bulan Ibu meninggalkan kami.
Semenjak itu, tak henti-hentinya aku bertanya kepada diriku sendiri. Mengapa
Engkau tak menyembuhkan Ibuku? Mengapa Engkau sangat tidak adil kepadaku? Apa
Engkau tak mendengar doaku? Apa Engkau tak melihatku menangis memohon agar kau
tak mengambil Ibuku? Apa saat aku memohon kepadamu, Engkau tertidur? Apa saat
aku memohon kepadamu, Engkau sedang memperhatikan orang lain? Apa saat aku
memohon kepada-Mu, Engkau sedang mengerjakan sesuatu sehingga tak
memperhatikanku? Apa… Engkau benar-benar ada?
Dan entah mengapa, aku mengambil sebuah
kesimpulan. Tuhan yang selalu kuanggap ada… Yang Maha Kuasa, dia tak bisa
mendengar semua umatnya secara bersamaan. Aku tidak tahu kesimpulan macam apa
ini. Tapi kurasa ini adalah keputusan seorang hamba-Nya yang tidak diperhatikan
oleh-Nya.
Sekarang, aku telah berhenti untuk berdoa
kepada-Nya, aku berhenti beribadah kepada-Nya, aku berhenti membaca kitab-Nya,
dan aku berhenti memuji keagungan-Nya. Untuk apa aku tetap beribadah, berdoa,
memuji, atau membaca kitab-Nya jika dia sama sekali tidak mendengarku? Untuk
apa membuang-buang waktuku jika pada akhirnya Dia sama sekali tidak
memperhatikanku?
Aku tidak lagi berjalan dengan jilbab,
kubiarkan rambut hitam panjangku terlihat. Aku tak lagi menutup auratku. Toh,
dia tidak akan memperhatikanku, apalagi melirik keadaanku yang tak percaya lagi
dengan keberadaan-Nya.
Aku mulai mencari uang untuk menafkahi
keluargaku. Ayah sampai sekarang hanya kerja sambilan, apa ini karena dia juga
tak diperhatikan oleh-Nya? Apa Dia tak pernah memperhatikan keluargaku?
Meski banyak orang mengatakan pekerjaanku
tidak benar untuk anak umur 14 tahun sepertiku, aku tak bisa terus-menerus
membebani Ayahku. Di sekolah, tak ada lagi yang ingin berteman denganku, apa
karena aku bekerja di sebuah kafe? Kuakui, aku tak menjadi seorang, koki di
sana, maupun pelayan, aku menjadi seorang penyanyi kafe. Hanya itu yang bisa
kulakukan.
Apa aku salah? Jika tidak, mengapa mereka
semua menghindariku? Apa karena desas-desus orang-orang yang mengatakan aku
bekerja sebagai penyanyi kafe untuk menggoda om-om kumisan? Itu sama sekali tak
benar. Aku hanya bernyanyi untuk pengunjung. Hanya itu yang kulakukan.
Rabu, 9 Januari 2014
Ayah memintaku untuk berhenti bekerja,
dan kembali sepertiku yang dulu. Kurasa mustahil. Untuk apa? Untuk apa aku
kembali memakai jilbab? Untuk apa aku kembali menyembah-Nya? Apa untuk
mendapatkan surga? Apa surga benar-benar ada? Apabila aku kembali
menyembah-Nya, apa aku terjamin masuk surga?
Aku tetap berpegang teguh pada
keyakinanku saat ini, bahwa Tuhan sebenarnya tak ada. “Bila itu pendapatmu, apa
kau bisa tahu apa yang terjadi bila kita telah meninggalkan dunia ini?” Tanya
Ayahku. Aku memikirkan jawabannya.
“Menghilang…” kataku tanpa menatapnya.
“Menghilang… apa benar bila kita telah
meninggalkan dunia ini, kita akan menghilang begitu saja? Lalu… apa yang
terjadi kepada Ibu? Apa sekarang dia telah menghilang?” Ayah memberiku
pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan mudah. Aku memutuskan untuk diam.
“Miya… Miya Azzahra. Jika kamu dapat
menjelaskan kepada Ayah kemana Ibu pergi… kau boleh ,melakukan semuanya dengan
sesukamu. Dan…” dia memutuskan kalimatnya dan menarik napas yang dalam lalu
menghembuskannya dengan pelan. Aku memandangnya.
“Dan… itu berarti Ayah telah gagal
menjadi seorang Ayah.” Katanya, lalu bangkit dari kursi. “Ayah memberikanmu
waktu satu minggu.” Katanya lagi dan pergi meninggalkanku dalam keadaan penuh
pertanyaan.
Selasa, 15 Januari 2014
Sudah hampir 1 minggu berlalu. Pertanyaan
itu masih menghantuiku. Kira-kira kemana Ibu pergi? Apa dia benar-benar
menghilang? Atau… hidup bahagia di dunia lain?
Besok adalah hari terakhirku. Hari dimana
kesempatanku untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa Tuhan benar-benar tidak ada.
Aku tidak perlu repot-repot membuat Ayah berpendapat sama denganku, bahwa Tuhan
itu tidak ada.
Malam begitu cepat tiba. Aku masih
memikirkan jawabanku. Tak terasa, mataku tertutup.
“Ibu? Apa yang Ibu lakukan di sini?”
tanyaku kepada sosok seorang wanita separu baya yang kuyakin itu adalah Ibuku.
Dia memandangku dengan wajah sedihnya.
“Ibu… ada apa?” tanyaku sekali lagi. Dia
masih tetap diam. Aku lalu memutuskan untuk menghampirinya. “Ibu?” panggilku.
“Ibu tersiksa…” katanya lirih. Aku
berusaha mendengar suara lirihnya yang sangat pelan. “Mengapa?” tanyaku.
“Ibu tersiksa…” katanya sekali lagi.
“Mengapa Ibu tersiksa?” aku bertanya sekali lagi.
“Ibu tersiksa melihatmu… saat Ibu pergi,
yang Ibu tunggu adalah doa darimu, dan suaramu yang membaca Al-qur’an. Tapi…
sampai saat ini, Ibu sama sekali tak mendengarnya.” Katanya, dia lalu pergi
meninggalkanku.
“Ibu!” aku memanggilnya, berusaha
menahannya. Tapi tetap saja dia pergi meninggalkanku. “Ibu!” aku menjerit
memanggilnya untuk kembali, tapi percuma… dia telah meninggalkanku untuk kedua
kalinya.
Rabu, 16 Januari 2014
Aku terbangun. Spontan mataku menuju ke
arah jam. Pukul 05.00. aku mendengar adzan yang sangat jelas. Dengan napas yang
terputus-putus, aku mencoba mengatur napasku, sambil mendengar dan meresapi
adzan yang selama ini tak kuhiraukan.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Apa
yang kulakukan selama ini? aku membuat Ibu tersiksa di sana.. apa itu semua
karena aku tak percaya lagi kepada Allah? Sekarang aku tersadar, bahwa Dia
benar-benar ada dan sedang mengawasiku. Selalu mengawasiku, mendengarku, dan
memerhatikanku. Ibu meninggal… dia pastilah mendengar jelas doa-doaku agar
menyembuhkannya, tapi Dia ingin mengujiku. Ya, pasti dia ingin mengujiku. Ini
semua cobaan yang dia berikan kepadaku.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera
mengambil wudhu dan shalat subuh. Setelah itu, aku berzikir dan meminta ampun
kepada-Nya atas apa yang telah kuperbuat. Tak lupa aku mengirimkan suaraku
membaca kitab-Nya untuk Ibuku. Entah mengapa… hati yang selama ini tidak jelas
rasanya, telah menjadi sejuk, dan tenang.
Pagi itu aku siap memberikan jawabanku
kepada Ayah. Aku menghampirinya di meja makan. Saat dia sedang membaca koran.
“Ayah…” panggilku. Dia lalu menoleh dan
berhenti membaca Koran lalu meletakkan korannya di samping cangkir kopinya.
“Apa kau sudah mempunyai jawaban yang
tepat?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Sekarang, Ibu sedang ada di samping
Allah. Dia telah nyaman berada di sana, dan juga… Ibu akan merasa lebih nyaman
lagi bila aku percaya kepada Allah, bila aku kembali berdoa kepadanya, bila aku
kembali membaca Al-qur’an… dia, akan lebih senang.” Jelasku. Aku merasa sangat
puas dengan jawabanku. Ayah memandangku, dia lalu memelukku seketika. Aku
membalas pelukannya.
“Ayah telah berhasil mengembalikanmu...”
bisiknya di telingaku. Aku mengangguk pelan. “Terima kasih, dan maafkan aku,
Yah..”
Jum’at, 28 Mei 2014
Sekarang, hidup kami lebih baik. Ayah
mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Dan aku tak lagi
dikucilkan oleh teman-temanku. Dan juga, sekarang aku lebih percaya kepada
Allah. Aku percaya dia benar-benar ada. aku percaya bahwa selama ini dia terus
memperhatikanku, dan selalu mendengar doa-doaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar