Sabtu, 31 Mei 2014

Dapatkah Kupercaya Keberadaan-Mu?




Kamis, 20 November 2013
Aku berjalan pulang dari sekolah, sangat melelahkan. Dulu, bila aku telah pulang dari sekolah, aku biasanya dijemput oleh Ayahku. Tapi sekarang dia tak bisa lagi mengantar jemputku. Karena tempatnya bekerja baru-baru ini bangkrut, dia terpaksa menjual motornya. Dan sekarang aku harus membiasakan diri untuk pergi dan pulang dengan berjalan kaki. Sulit memang, karena jarak sekolahku dan rumah cukup jauh, sekitar 2 kilo meter.  Tapi sekarang aku mulai terbiasa dengan kehidupanku yang sangat sederhana ini.

“Assalamu’alaikum…” kataku ketika memasuki pintu rumahku yang berwarna cokelat  terkelupas. “Wa’alaikumsalam” balas Ibuku dari arah dapur. Aku menghampirinya, “Ibu sudah sehat?” kataku, akhir-akhir ini Ibuku selalu sakit kepala.
“Ya, uhuk.. uhuk.. Ibu baik-baik saja kok” katanya memaksakan diri. Aku memandangnya dengan prihatin. “Ibu lagi apa?” tanyaku lagi berusaha membelokkan percakapan.
“Nih, buat pisang goreng. Kakak mau?” katanya, sambil sibuk membolak-balik gorengannya. Aku memandang ke arah pisang goreng itu lalu mengangguk.
“Iya, mau.. aku ganti baju dulu, yah” Kataku yang dibalas dengan anggukan oleh Ibuku. Aku segera mengganti bajuku. Setelah selesai, aku segera kembali ke dapur dan membuat pisang goreng.
“Bu, kok pisang gorengnya banyak sekali?” tanyaku sambil melihat ke arah pisang goreng yang telah digoreng Ibu sebelumnya.
“Iya, Ibu bermaksud untuk menjualnya.” Katanya, aku lalu mengangguk-ngagguk. “Tapi mau dititip di mana?” tanyaku.
“Rencananya sih, Ibu mau titip di bu Aminah saja. Gorengan yang dia jual laris manis semua.” Kata Ibu sambil tersenyum. Baru kali ini Ibu menjual gorengan. Kurasa Ibu ingin meringankan tugas Ayah untuk menafkahi kami. Setalah semua pisang digoreng, aku segera membawanya ke bu Aminah.
“Assalamu’alaikum, bu… apa saya bisa menitip pisang goreng Ibu saya disini?” tanyaku sopan. Bu Aminah memandang ke arah pisang goreng yang ku bawa. Dia lalu mengangguk. Sungguh senang rasanya, aku langsung memberikan pisang goreng itu ke bu Aminah.
Ketika pulang ke rumah, aku melihat adikku –Maya, menghampiriku dengan panik. “Kak! Ibu, Ibu pingsan!” Katanya sambil berlinang air mata. Aku segera berlari ke arah Ibuku. Kulihat Ibu terbaring lemah di lantai dapur.
“Ibu! Bu, bangun!” kataku. Aku mengguncang-guncang tubuhnya yang kurus itu. Tanpa berpikir panjang, kuangkat Ibuku menuju kamar. Kubaringkan Ibuku di atas kasur lepeknya. Aku mengambil bantal lalu menaruhnya di bawah kakinya, serta menciumkan minyak kayu putih. Di sampingku, Maya tak henti-hentinya menangis.
“Sudahlah, Ibu tak apa-apa. Berhentilah menangis!” kataku, Maya lalu menghentikan tangisannya. Kami berdua menunggu Ibu untuk siuman.
“Kak, apa tidak sebaiknya kita menghubungi Ayah dan menyuruhnya cepat pulang?” usul Maya. Aku segera menggelengkan kepala tanda tak setuju.
“Ibu baik-baik saja. Kita tidak seharusnya mengganggu Ayah, siapa tau dia sedang sibuk mencari pekerjaan dan tak bisa diganggu.” Jelasku kepadanya yang masih tampak cemas. Ketika setengah jam menunggu Ibu, akhirnya dia bangun juga. Ketika beliau bangun, aku segera memeluknya.
“Jangan membuat kami khawatir.” Kataku sambil memeluknya erat. Dia mengelus kepalaku yang masih mengenakan jilbab hitam. Maya kembali menangis di sebelah sambil memeluk Ibuku.



Jum’at, 28 November 2013
Hari ini aku tidak ingin pergi ke sekolah. Entah mengapa, aku tak ingin meninggalkan Ibuku. Semenjak dia pingsan, keadaannya semakin memburuk, membuatku tidak tenang meninggalkannya dan juga tak henti-hentinya aku berdoa agar beliau segera sembuh. Tapi hari ini aku latihan basket, sungguh sulit untuk memutuskan.
Sebelum berangkat sekolah, aku menghampiri Ibuku yang masih terbaring lemas di tempat tidurnya yang lepek, ingin rasanya ku belikan tempat yang nyaman untuknya.
“Ibu, Miya pergi dulu yah…” pamitku kepadanya. Aku mencium tanganya lalu memeluknya.
“Hati-hati, yah.. jaga dirimu baik-baik, jaga adikmu, dan jangan membuat Ayah khawatir..” katanya lirih sambil mengusap kepalaku. Tanpa kusadari, aku menangis di pelukannya. Hatiku tidak nyaman meninggalkannya, meskipun nenek sekarang tinggal bersama kami. Aku mencium kedua pipinya, dan segera berangkat ke sekolah.
Dalam perjalanan, tak henti-hentinya aku mencemaskannya. Segudang pertanyaan menghampiri diriku, mengapa aku tak tenang meninggalkannya? Mengapa Ibu pucat? Mengapa dia mengakatakan hal-hal aneh? Apa dia sudah tak sanggup menjalani hidup? Tidak! Ibu akan baik-baik saja. Ya, pasti.

Aku pulang kerumah dengan perasaan was-was. Pertanyaan-pertanyaan mengerikan kembali menghampiriku, apa Ibu baik-baik saja? Apa dia akan melihatku lagi?
Setelah membuka pintu kamarnya. Kulihat Ibu tidur dengan pulas. Aku tersenyum melihatnya. Aku tidak ingin mengganggunya, segera kutinggalkan kamar Ibuku dan pergi. Aku mengganti pakaian sekolahku, lalu shalat ashar. Setelah itu, aku kembali berdoa kepada-Nya agar Ibuku sembuh.



Sabtu, 29 November 2013
Aku bangun terlalu pagi hari ini. setelah shalat subuh dan kembali berdoa kepada Allah serta berdzikir, aku segera menghampiri Ibuku. Dengan al-qur’an di tanganku, aku bermaksud membacanya di samping Ibuku.
Aku duduk di sampingnya yang tidur dengan pulasnya. Aku mulai membaca. “Terima kasih…” terdengar suara lirih yang berasal dari Ibuku di sela-sela mengajiku. Aku lalu berhenti dan mendengarnya.
“Ibu?” panggilku. Ibu lalu menghadap ke arahku. Aku berbaring di sampingnya masih dengan mukenah dan al-qur’an di tanganku. Beliau lalu membelai kepalaku lagi, sambil berusaha mengucapkan sepatah kalimat. Aku menatapnya.
“Terima kasih… kau telah memberikanku anugerah, kau telah memberiku gadis yang salehah dan pintar..” Katanya lirih. “Ibu…” panggilku, dengan sekuat tenaga kutahan air mataku agar tidak membanjiri pipiku.
“Aku selalu bersyukur atas semua yang kau berikan. Jadi, bila Engkau harus mengambilku, aku tak akan keberatan. Meski tak kulihat anak-anak yang kau berikan kepadaku tumbuh menjadi orang hebat, tak apa… sekarang aku  menitipkannya kembali kepada-Mu” kata-katanya membuatku menangis sejadi-jadinya.
“Ibu… aku tak akan membiarkanmu pergi. Jangan tinggalkan kami.” Kataku. Aku memeluknya sangat erat. Beliau membalas pelukanku.
“Bu, aku telah berdoa kepada-Nya agar menyembuhkanmu, jadi… jadi jangan khawatir, Ibu pasti akan sembuh…” bisikku dalam pelukannya. Ibu hanya terdiam, dan tersenyum.
“Bu, bolehkah aku tak ke sekolah hari ini?” tanyaku. Ibu mengangguk, masih tersenyum. “Miya, apa kau bisa membuatkan Ibu secangkir teh? Ibu sangat suka dengan teh buatanmu.” Katanya. Aku segera bangkit dan membuatkan teh untuknya.
Ketika aku masuk kembali ke kamar Ibuku dengan secangkir teh, aku melihat Maya berbaring di sebalah Ibuku sambil menangis dalam diam. Aku meletakkan cangkir teh di atas meja kecil samping kasur. Maya memandangku dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Dia memandangku… dengan pandangan yang sangat aneh.
“Ada apa?” tanyaku. Tapi dia terus menatapku. Seakan disambar sesuatu, aku segera menyentuh Ibuku. Kulihat dia masih tersenyum, namun sangat pucat. Dia menutup matanya dengan tenang. “Ibu?” panggilku. Dia tak bergeming. Perasaan takutpun melandaku.
“Ibu?” panggilku sekali lagi. Maya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia sekarang duduk di samping Ibuku. “Ibu! Bangun!!” jeritku. Aku mengguncang badannya yang lemah.
“Ibu!!” jeritku lagi, Maya menangis sejadi-jadinya, “Jangan mengguncang Ibu seperti itu!! Ia akan kesakitan!!” teriaknya sambil berusaha melepaskan genggamanku dari baju Ibuku. Aku menangis…

Selasa, 1 Januari  2014
 Sudah satu bulan Ibu meninggalkan kami. Semenjak itu, tak henti-hentinya aku bertanya kepada diriku sendiri. Mengapa Engkau tak menyembuhkan Ibuku? Mengapa Engkau sangat tidak adil kepadaku? Apa Engkau tak mendengar doaku? Apa Engkau tak melihatku menangis memohon agar kau tak mengambil Ibuku? Apa saat aku memohon kepadamu, Engkau tertidur? Apa saat aku memohon kepadamu, Engkau sedang memperhatikan orang lain? Apa saat aku memohon kepada-Mu, Engkau sedang mengerjakan sesuatu sehingga tak memperhatikanku? Apa… Engkau benar-benar ada?
Dan entah mengapa, aku mengambil sebuah kesimpulan. Tuhan yang selalu kuanggap ada… Yang Maha Kuasa, dia tak bisa mendengar semua umatnya secara bersamaan. Aku tidak tahu kesimpulan macam apa ini. Tapi kurasa ini adalah keputusan seorang hamba-Nya yang tidak diperhatikan oleh-Nya.
Sekarang, aku telah berhenti untuk berdoa kepada-Nya, aku berhenti beribadah kepada-Nya, aku berhenti membaca kitab-Nya, dan aku berhenti memuji keagungan-Nya. Untuk apa aku tetap beribadah, berdoa, memuji, atau membaca kitab-Nya jika dia sama sekali tidak mendengarku? Untuk apa membuang-buang waktuku jika pada akhirnya Dia sama sekali tidak memperhatikanku?
Aku tidak lagi berjalan dengan jilbab, kubiarkan rambut hitam panjangku terlihat. Aku tak lagi menutup auratku. Toh, dia tidak akan memperhatikanku, apalagi melirik keadaanku yang tak percaya lagi dengan keberadaan-Nya.
Aku mulai mencari uang untuk menafkahi keluargaku. Ayah sampai sekarang hanya kerja sambilan, apa ini karena dia juga tak diperhatikan oleh-Nya? Apa Dia tak pernah memperhatikan keluargaku?
Meski banyak orang mengatakan pekerjaanku tidak benar untuk anak umur 14 tahun sepertiku, aku tak bisa terus-menerus membebani Ayahku. Di sekolah, tak ada lagi yang ingin berteman denganku, apa karena aku bekerja di sebuah kafe? Kuakui, aku tak menjadi seorang, koki di sana, maupun pelayan, aku menjadi seorang penyanyi kafe. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Apa aku salah? Jika tidak, mengapa mereka semua menghindariku? Apa karena desas-desus orang-orang yang mengatakan aku bekerja sebagai penyanyi kafe untuk menggoda om-om kumisan? Itu sama sekali tak benar. Aku hanya bernyanyi untuk pengunjung. Hanya itu yang kulakukan.

 Rabu, 9 Januari 2014
Ayah memintaku untuk berhenti bekerja, dan kembali sepertiku yang dulu. Kurasa mustahil. Untuk apa? Untuk apa aku kembali memakai jilbab? Untuk apa aku kembali menyembah-Nya? Apa untuk mendapatkan surga? Apa surga benar-benar ada? Apabila aku kembali menyembah-Nya, apa aku terjamin masuk surga?
Aku tetap berpegang teguh pada keyakinanku saat ini, bahwa Tuhan sebenarnya tak ada. “Bila itu pendapatmu, apa kau bisa tahu apa yang terjadi bila kita telah meninggalkan dunia ini?” Tanya Ayahku. Aku memikirkan jawabannya.
“Menghilang…” kataku tanpa menatapnya.
“Menghilang… apa benar bila kita telah meninggalkan dunia ini, kita akan menghilang begitu saja? Lalu… apa yang terjadi kepada Ibu? Apa sekarang dia telah menghilang?” Ayah memberiku pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan mudah. Aku memutuskan untuk diam.
“Miya… Miya Azzahra. Jika kamu dapat menjelaskan kepada Ayah kemana Ibu pergi… kau boleh ,melakukan semuanya dengan sesukamu. Dan…” dia memutuskan kalimatnya dan menarik napas yang dalam lalu menghembuskannya dengan pelan. Aku memandangnya.
“Dan… itu berarti Ayah telah gagal menjadi seorang Ayah.” Katanya, lalu bangkit dari kursi. “Ayah memberikanmu waktu satu minggu.” Katanya lagi dan pergi meninggalkanku dalam keadaan penuh pertanyaan.

Selasa, 15 Januari 2014
Sudah hampir 1 minggu berlalu. Pertanyaan itu masih menghantuiku. Kira-kira kemana Ibu pergi? Apa dia benar-benar menghilang? Atau… hidup bahagia di dunia lain?
Besok adalah hari terakhirku. Hari dimana kesempatanku untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa Tuhan benar-benar tidak ada. Aku tidak perlu repot-repot membuat Ayah berpendapat sama denganku, bahwa Tuhan itu tidak ada.
Malam begitu cepat tiba. Aku masih memikirkan jawabanku. Tak terasa, mataku tertutup.

“Ibu? Apa yang Ibu lakukan di sini?” tanyaku kepada sosok seorang wanita separu baya yang kuyakin itu adalah Ibuku. Dia memandangku dengan wajah sedihnya.
“Ibu… ada apa?” tanyaku sekali lagi. Dia masih tetap diam. Aku lalu memutuskan untuk menghampirinya. “Ibu?” panggilku.
“Ibu tersiksa…” katanya lirih. Aku berusaha mendengar suara lirihnya yang sangat pelan. “Mengapa?” tanyaku.
“Ibu tersiksa…” katanya sekali lagi. “Mengapa Ibu tersiksa?” aku bertanya sekali lagi.
“Ibu tersiksa melihatmu… saat Ibu pergi, yang Ibu tunggu adalah doa darimu, dan suaramu yang membaca Al-qur’an. Tapi… sampai saat ini, Ibu sama sekali tak mendengarnya.” Katanya, dia lalu pergi meninggalkanku.
“Ibu!” aku memanggilnya, berusaha menahannya. Tapi tetap saja dia pergi meninggalkanku. “Ibu!” aku menjerit memanggilnya untuk kembali, tapi percuma… dia telah meninggalkanku untuk kedua kalinya.

Rabu, 16 Januari 2014
Aku terbangun. Spontan mataku menuju ke arah jam. Pukul 05.00. aku mendengar adzan yang sangat jelas. Dengan napas yang terputus-putus, aku mencoba mengatur napasku, sambil mendengar dan meresapi adzan yang selama ini tak kuhiraukan.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata. Apa yang kulakukan selama ini? aku membuat Ibu tersiksa di sana.. apa itu semua karena aku tak percaya lagi kepada Allah? Sekarang aku tersadar, bahwa Dia benar-benar ada dan sedang mengawasiku. Selalu mengawasiku, mendengarku, dan memerhatikanku. Ibu meninggal… dia pastilah mendengar jelas doa-doaku agar menyembuhkannya, tapi Dia ingin mengujiku. Ya, pasti dia ingin mengujiku. Ini semua cobaan yang dia berikan kepadaku.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera mengambil wudhu dan shalat subuh. Setelah itu, aku berzikir dan meminta ampun kepada-Nya atas apa yang telah kuperbuat. Tak lupa aku mengirimkan suaraku membaca kitab-Nya untuk Ibuku. Entah mengapa… hati yang selama ini tidak jelas rasanya, telah menjadi sejuk, dan tenang.
Pagi itu aku siap memberikan jawabanku kepada Ayah. Aku menghampirinya di meja makan. Saat dia sedang membaca koran.
“Ayah…” panggilku. Dia lalu menoleh dan berhenti membaca Koran lalu meletakkan korannya di samping cangkir kopinya.
“Apa kau sudah mempunyai jawaban yang tepat?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Sekarang, Ibu sedang ada di samping Allah. Dia telah nyaman berada di sana, dan juga… Ibu akan merasa lebih nyaman lagi bila aku percaya kepada Allah, bila aku kembali berdoa kepadanya, bila aku kembali membaca Al-qur’an… dia, akan lebih senang.” Jelasku. Aku merasa sangat puas dengan jawabanku. Ayah memandangku, dia lalu memelukku seketika. Aku membalas pelukannya.
“Ayah telah berhasil mengembalikanmu...” bisiknya di telingaku. Aku mengangguk pelan. “Terima kasih, dan maafkan aku, Yah..”


Jum’at, 28 Mei 2014
Sekarang, hidup kami lebih baik. Ayah mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Dan aku tak lagi dikucilkan oleh teman-temanku. Dan juga, sekarang aku lebih percaya kepada Allah. Aku percaya dia benar-benar ada. aku percaya bahwa selama ini dia terus memperhatikanku, dan selalu mendengar doa-doaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...