Kamis, 29 Mei 2014

Balada Sepatu Tua






Pernahkah terpikir olehmu bagaimana nasib sepasang sepatu?
Jika tidak, kau kusarankan mendengar ceritaku...



Aku memandangi diriku yang sudah usang. Walaupun aku sudah dibersihkannya setiap bulan. Namun, seiring berjalannya waktu, tubuhku mulai rapuh. Jahitan yang ada di badanku sudah ada di mana- mana. Mungkin aku sudah tak lama lagi di sini. Aku melewati jalan yang sama setiap saat, bersamanya. Aku juga telah membawanya kemana pun yang dia inginkan. Sering kali, saat libur panjang aku di biarkan begitu saja.  Aku juga telah mendengar banyak cerita darinya.
Dulu, sewaktu aku yang dipilihnya untuk menemani perjalanannya, hatiku terus saja berbangga diri. Dan, pada saat aku pertama kali dipakai, aku memandang diriku lekat-lekat. Kilauan di mana-mana
membuat hatiku menjadi sangat senang. Ya, begitu pula dengan Tim, Pemilikku. Dia sangat senang saat pertama kali memakaiku. Namun, senyumnya itu memudar karena sobekanku mulai nampak di mana-mana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku nantinya bila tak dipakai lagi. sudah berkali-kali aku dijahit, sungguh menyakitkan. Tapi aku menahan itu semua agar tetap bisa terpakai.
Satu hal yang sangat kukhawatirkan akhir-akhir ini. Tim selalu pergi bersama Ibunya. Memang itu suatu yang wajar, tapi saat sampai di rumah selalu saja Tim memasang wajah yang cemberut. Terkadang dia menatapku dengan tatapan aneh. Aku sungguh takut melihatnya.
Waktu itu, dia sedang sendirian di rumah. Ayah, Ibu, Tom- kakak laki-lakinya, Jenny- kakak perempuannya, sedang pergi. Sekali lagi dia menatapku dengan tatapan yang aneh. Dia tak pernah tahu bagaimana perasaanku. Dia mengambilku dari rak sepatu, lalu ditaruhnya di depan televisi yang sedang menyala, aku mulai khawatir dan mencoba untuk berpikir positive. Dia pergi ke dapur, aku melihatnya meninggalkanku, sempat kuhembuskan napas lega, sayangnya itu tak berlangsung lama. Sekembalinya, dia  membawa cutter di tangannya. Jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang saat melihatnya, beberapa kali kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dan jujur saja, Tim adalah anak yang nakal. Aku selalu melihatnya memukul temannya, mengganggu anak perempuan yang sedang membaca di taman, serta mengoleskan lem ke bangku gurunya. Keterlaluan! Ia betul-betul anak yang nakal.
Dia lalu menghampiriku, diarahkannya pisau itu ke tubuhku. Aku merasakan goresan yang sangat pedih. Tak lama setelah itu, kakak Tim, Jenny datang membuka pintu. “Aku pulang,” katanya. Dihentikannya kegiatan menyakitkan itu terhadapku. Dia lalu buru-buru membawa pisau kembali ke tempatnya. Aku hanya bisa bernapas lega kembali, meski aku merasa darahku mengalir dengan deras meski kenyataan tak ada darah sedikit pun yang  mengalir, hanya bayangan sepatu tua. Jenny langsung memasuki kamarnya tanpa melihat disekitarnya. Aku berteriak dengan keras, “Hei! Lihat aku! Lihat apa yang telah Tim lakukan padaku! Lihatlah aku Jenny! Lihat!” meski pita suaraku hampir putus pun takkan ada yang mendengarnya, termasuk Jenny salah satunya. Dan dengan cepat Tim mengembalikanku ke rak sepatu. lalu kembali duduk manis di depan televisi dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aku hanya bisa merenung. ‘Mengapa benda mati tak bisa berbicara?’ batinku. Aku terus mengulang pertanyaanku, ya... setidaknya sampai aku merasa bosan.
Saat Ibu pulang, Tim lalu menghampirinya dan mulai mengadu. Aku tak tahu apa yang dikatakannya, aku tak mendengarnya. Ibu Tim menghampiriku, lalu mengangkatku. Aku berteriak dan berkata, “Dia telah merusakku! Hukum dia! Kumohon hukum dia!.” Tapi tentu saja itu tidak mungkin, sekali lagi kukatakan dia tak mendengarnya. Meski sudah kucoba untuk berteriak sekeras yang kubisa, tetap tak membuahkan hasil.  “Hmmm... ini cukup parah,” kata Ibu Tim sambil membalikku kesana-kemari. Aku merasakan pusing akibat di putar dan di bolak-balik kesana kemari.  “Kita akan ke toko sepatu di kota sebelah sabtu nanti. Dan Ibu akan membelikan sepasang sepatu untukmu, tetapi... kau harus bersikap baik.” Kata Ibu Tim, Tim sontak berlonjak kegirangan. Aku sangat kaget mendengar ucapan Ibu Tim. Sekarang aku tahu apa yang membuat Tim selalu menatap aneh kepadaku, dia menginginkan sepatu baru. Aku masih terus berpikir. Bagaimana mungkin anak yang telah berbuat salah berhasil mendapatkan sepasang sepatu? Sungguh hidup tak selamanya adil!
Hari yang ditunggu-tunggunya pun tiba. Sekarang dia telah siap, begitu pula dengan Ibu Tim. Tapi, tidak denganku. Kehadiran sepatu baru itu mengusikku, dan itu berarti aku bakal tak terpakai lagi, atau lebih buruknya dibuang. Mereka akhirnya pergi dengan mobil Ayah Tim, dia tak memakainya karena ini akhir pekan. Aku hanya bisa menunggu di rak sepatu hingga mereka datang. Rasanya waktu terasa berjalan dengan cepat. Seketika saja mereka telah sampai di rumah. Mereka membawa sepatu baru itu. Jantungku berdebar-debar. “Kak Tom! Kak Jenny!” teriak Tim, meski tak ada tanda-tanda kehadiran kakak-kakaknya, dia tetap merasakan kegembiraan. Dan tentu saja dia tak memerhatikanku. Dia mengeluarkan kotak sepatu itu dari kantong belanjaan. Dengan riang dia meletakkan sepatu itu di lantai. Dia mengeluarkan sepatu baru itu dari kotaknya, dan aku akui dia memang lebih bagus dibanding aku yang sudah kumuh seperti ini. Tapi, setidaknya dulu aku seperti sepatu baru itu. Ya, dulu.
Aku menatapnya terus menerus. Tim memakainya, sangat pas di kakinya yang mungil itu. Sepatu baru itu melihatku duduk manis di rak sepatu, meski penampilanku tidak semanis dudukku. Dia melihatku dengan tatapan angkuh, sungguh sepatu yang sombong! Dia tidak tahu apa yang terjadi dengannya bila sudah sepertiku nanti. Dia masih bersikap sombong saat diletakkan disampingku. Aku hanya bisa diam, apa yang harus kulakukan sebagai sepatuh kumuh yang tak berarti? Memandanginya dengan tatapan yang sama sombongnya? Tidak mungkin! Penampilanku saja tidak memungkinkan, dan mungkin saja sepatu itu akan menertawaiku.
Esoknya, sepatu itu terus saja berdiam diri sambil menyombongkan dirinya. Memang dia diam, tapi wajahnya itu menunjukkan kesombongan yang sangat besar. Seakan-akan, dia lah yang terbaik di antara sepatu-sepatu milik keluarga Tim. Aku ingin berkata bahwa dia tak akan selamanya bagus seperti itu, apa lagi Tim yang sangat suka berjalan di tempat-tempat berbahaya. “Emm... Hei,” kataku akhirnya, dia hanya menoleh ke arahku, memandangku dari atas ke bawah lalu membuang muka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku menahan diri, dan bersabar. Sungguh menyebalkan! Karena tak tahan akan sikapnya, aku mengutarakan semua yang ada di dalam pikiranku. “Kau tak akan selamanya sebagus seperti itu, kau akan sepertiku. Ya, well... kusam.” Dia hanya membalas dengan tatapan tajam. Aku mengacuhkannya, terlalu sombong bagiku! Tak disangka, dia mengucapkan sesuatu, sayangnya perkataannya itu hanya membuatku naik pitan. “Huh! Dasar sepatu kumuh tak berguna! Untuk apa kau masih disini? Seharusnya kau sudah dibuang. Sobekanmu dimana-mana membuat mataku menjadi rusak! Oh, mataku menjadi perih!” ujarnya dengan nada yang meledek. Aku mulai merasakan wajahku memerah, bukan karena malu, tapi marah. Aku lalu melihat sekitarku, masih terlalu pagi untuk ada yang melihatku menghajar sepatu sialan ini. Aku mulai memukulnya, karena kaget, dia pun membalas pukulanku tadi. Kami segera saja bertengkar. Tapi, karena pagi mulai mendekat, kami menghentikan pertengkaran itu. Dan alhasil, sobekanku semakin parah!
Hari yang dinantikan Tim telah tiba. Dia memakai sepatu barunya itu ke sekolah, dan tentu saja bukan aku yang dipakainya. Dengan gayanya yang sombong, sepatu itu mulai membawa Tim keluar pintu rumah. Aku hanya bisa menatap iri kepadanya. Sepatu-sepatu lain juga telah pergi. Kecuali sepatu yang khusus untuk jalan-jalan. Aku hanya berdiam diri di tempat, menunggu apa yang akan terjadi kepadaku nantinya. Karena terlalu lama menunggu, akhirnya aku tertidur pulas. Satu hal yang bisa kunikmati adalah, bisa tidur sepuasnya.
“Bagaimana dengan sepatu lama Tim, bu?” kata seseorang yang sepertinya itu suara Jenny. Aku terbangun. Aku mendengar Jenny mengatakan hal itu, dan kata-kata itu berhasil membuatku terbangun dari tidur lelapku. “Mungkin Ibu akan membawanya ke pembuangan.” Kata Ibu Tim santai sambil membersihkan daerah sekitar rak sepatu, dan tak jauh dari tempatnya Jenny berdiri dengan bersandar ditembok. Jenny lalu menghampiriku, dia mengangkatku tinggi-tinggi kearah lampu yang menyala. Aku tak tahu apa yang dilakukannya. “Bu, sepertinya Tim telah membohongimu. Lihat!” katanya sambil berjalan menuju Ibu Tim dengan membawaku di tangannya. Ibu menggeleng-geleng. “Seharusnya Ibu memeriksanya lebih teliti lagi.” kata Ibu Tim. Tapi mau diapa? Nasi telah berubah menjadi bubur, dan pastilah sepatu baru-sombong itu tak dapat dikempalikan.
Saat terbangun, aku telah berada di tempat yang asing bagiku. Ini bukan rak sepatu, ataupun teras. Aku melihat sekelilingku. Sampah. Oh tidak! Aku benar-benar dibuang oleh Ibu Tim! Sungguh teganya beliau. Tapi dia tak tahu perasaanku. Aku hanya bisa meretap, memandangi diriku. Oh, sungguh menyedihkannya diriku saat ini. Tambalan di mana-mana, jahitan di sana-sini, lem yang melekat di sekujur tubuhku, dan lumpur yang seminggu lalu belum dibersihkan oleh Tim. Aku hanya bisa menangisi diri sendiri, tapi tak ada yang mendengar.
Pagi-pagi sekali, tukang pembersih sampah tiba dan membawa sampah-sampah ke atas truk, dan termasuk diriku didalamnya. Aku hanya mengikuti alur truk ini. Hanya ada aku di sini, well... sebagai sepatu. Aku menatap sekeliling. Sampah. Semuanya sampah. Akhirnya aku tiba di tempat pembuangan sampah akhir, itu yang manusia katakan selalu. Wow, banyak sekali sampah di sini. Hingga menggunung! Aku dibawa oleh si tukang sampah ketumpukan sampah lainnya. Dibantingnya diriku di atas sampah. Entah apa yang akan terjadi dengan diriku selanjutkanya. Aku hanya bisa pasrah. Tak sengaja, tukang sampah itu menyenggol beberapa sampah hingga membuat diriku jatuh terguling-guling  kebawah, terus berguling, dan terus berguling. Sebagian dari tubuhku hilang, aku tak tahu dia berada dimana. Aku mulai mencari-cari dimana letak badanku yang satunya. Seperti yang telah kuduga, tak kutemukan.
Aku berada di bawah sebuah besi. Besi berkarat. Sekarag, aku hanya bisa menunggu hingga waktu berhenti bergerak.  Dan berdiam diri di bawah besi berkarat ini. 
Tak terasa, bertahun-tahun sudah kulewati di bawah besi berkarat ini. Bertahun-tahun. Hingga tubuhku rusak, mengeluarkan bau busuk yang menyengat, tambalan yang ada di tubuhku mulai berhamburan karena cuaca yang tak menentu. Robekanku sudah sangat parah, pengalas kakiku telah menganga. Oh, sungguh buruk diriku saat ini. Setiap hari aku hanya melihat pemandangan yang sama. Sampah. Oh, tunggu dulu! Bukannya itu sepatu baru yang dimiliki Tim? Ya, benar! Itu sepatu baru milik Tim! Dan sekarang dia berada ditempat yang sama denganku, betapa menyedihkan dirinya. Sekarang, dia sudah berubah menjadi diriku. Dia sempat melihat kearahku, dan tentu saja dia bersikap seolah-olah tidak melihatku. Mungkin, dia terlalu malu untuk bertemu denganku.
Aku melihatnya dihancurkan di mesin penghancur. Oh! Betapa menyakitkannya. Aku belum merasakannya, karena dari tahun ke tahun aku masih berdiri disini. Menunggu giliran ku hancur. Aku mulai memejamkan mataku. Tukang sampah yang pernah membawaku ketempat ini menghampiri besi yang berada di atasku, lalu membawanya kesuatu tempat. Aku terbangun. Dia melihatku. Dia mengambilku dengan rasa prihatin di wajahnya. Dia lalu membawaku ikut serta dengan sepatu baru itu. Ya, ke mesin penghancur. Aku melihat semua sampah di hancurkan di sana. Hingga berkeping-keping. Dan sekarang giliranku telah tiba. Mesin itu terus berjalan tanpa henti. Aku hanya bisa memejamkan mataku, tak sanggup melihat ini terjadi. Hawa panas telah menghampiriku, aku membuka mata, di atasku telah terpajang penghancur sampah. Dan... dia menindisku, sangat sakit. Sakit sekali. Dan itu rasa sakit terakhir yang pernah kurasakan. Karena... ini akhir dari hidupku.
               







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...