Pernahkah terpikir olehmu bagaimana nasib
sepasang sepatu?
Jika tidak, kau kusarankan mendengar
ceritaku...
Aku memandangi diriku yang sudah usang. Walaupun aku
sudah dibersihkannya setiap bulan. Namun, seiring berjalannya waktu, tubuhku
mulai rapuh. Jahitan yang ada di badanku sudah ada di mana- mana. Mungkin aku
sudah tak lama lagi di sini. Aku melewati jalan yang sama setiap saat,
bersamanya. Aku juga telah membawanya kemana pun yang dia inginkan. Sering
kali, saat libur panjang aku di biarkan begitu saja. Aku juga telah mendengar banyak cerita
darinya.
Dulu, sewaktu aku yang dipilihnya untuk menemani
perjalanannya, hatiku terus saja berbangga diri. Dan, pada saat aku pertama
kali dipakai, aku memandang diriku lekat-lekat. Kilauan di mana-mana
membuat hatiku menjadi sangat senang. Ya, begitu pula dengan Tim, Pemilikku. Dia sangat senang saat pertama kali memakaiku. Namun, senyumnya itu memudar karena sobekanku mulai nampak di mana-mana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku nantinya bila tak dipakai lagi. sudah berkali-kali aku dijahit, sungguh menyakitkan. Tapi aku menahan itu semua agar tetap bisa terpakai.
membuat hatiku menjadi sangat senang. Ya, begitu pula dengan Tim, Pemilikku. Dia sangat senang saat pertama kali memakaiku. Namun, senyumnya itu memudar karena sobekanku mulai nampak di mana-mana. Aku tak tahu apa yang akan terjadi denganku nantinya bila tak dipakai lagi. sudah berkali-kali aku dijahit, sungguh menyakitkan. Tapi aku menahan itu semua agar tetap bisa terpakai.
Satu hal yang sangat kukhawatirkan akhir-akhir ini. Tim
selalu pergi bersama Ibunya. Memang itu suatu yang wajar, tapi saat sampai di rumah
selalu saja Tim memasang wajah yang cemberut. Terkadang dia menatapku dengan
tatapan aneh. Aku sungguh takut melihatnya.
Waktu itu, dia sedang sendirian di rumah. Ayah, Ibu, Tom-
kakak laki-lakinya, Jenny- kakak perempuannya, sedang pergi. Sekali lagi dia
menatapku dengan tatapan yang aneh. Dia tak pernah tahu bagaimana perasaanku.
Dia mengambilku dari rak sepatu, lalu ditaruhnya di depan televisi yang sedang
menyala, aku mulai khawatir dan mencoba untuk berpikir positive. Dia
pergi ke dapur, aku melihatnya meninggalkanku, sempat kuhembuskan napas lega,
sayangnya itu tak berlangsung lama. Sekembalinya, dia membawa cutter
di tangannya. Jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang saat melihatnya,
beberapa kali kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Dan jujur saja,
Tim adalah anak yang nakal. Aku selalu melihatnya memukul temannya, mengganggu
anak perempuan yang sedang membaca di taman, serta mengoleskan lem ke bangku
gurunya. Keterlaluan! Ia betul-betul anak yang nakal.
Dia lalu menghampiriku, diarahkannya pisau itu ke tubuhku.
Aku merasakan goresan yang sangat pedih. Tak lama setelah itu, kakak Tim, Jenny
datang membuka pintu. “Aku pulang,” katanya. Dihentikannya kegiatan menyakitkan
itu terhadapku. Dia lalu buru-buru membawa pisau kembali ke tempatnya. Aku
hanya bisa bernapas lega kembali, meski aku merasa darahku mengalir dengan
deras meski kenyataan tak ada darah sedikit pun yang mengalir, hanya bayangan sepatu tua. Jenny
langsung memasuki kamarnya tanpa melihat disekitarnya. Aku berteriak dengan
keras, “Hei! Lihat aku! Lihat apa yang telah Tim lakukan padaku! Lihatlah aku
Jenny! Lihat!” meski pita suaraku hampir putus pun takkan ada yang
mendengarnya, termasuk Jenny salah satunya. Dan dengan cepat Tim
mengembalikanku ke rak sepatu. lalu kembali duduk manis di depan televisi dan
bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Aku hanya bisa merenung. ‘Mengapa
benda mati tak bisa berbicara?’ batinku. Aku terus mengulang pertanyaanku,
ya... setidaknya sampai aku merasa bosan.
Saat Ibu pulang, Tim lalu menghampirinya dan mulai mengadu.
Aku tak tahu apa yang dikatakannya, aku tak mendengarnya. Ibu Tim
menghampiriku, lalu mengangkatku. Aku berteriak dan berkata, “Dia telah
merusakku! Hukum dia! Kumohon hukum dia!.” Tapi tentu saja itu tidak mungkin,
sekali lagi kukatakan dia tak mendengarnya. Meski sudah kucoba untuk berteriak
sekeras yang kubisa, tetap tak membuahkan hasil. “Hmmm... ini cukup parah,” kata Ibu Tim sambil
membalikku kesana-kemari. Aku merasakan pusing akibat di putar dan di
bolak-balik kesana kemari. “Kita akan ke
toko sepatu di kota sebelah sabtu nanti. Dan Ibu akan membelikan sepasang
sepatu untukmu, tetapi... kau harus bersikap baik.” Kata Ibu Tim, Tim sontak
berlonjak kegirangan. Aku sangat kaget mendengar ucapan Ibu Tim. Sekarang aku
tahu apa yang membuat Tim selalu menatap aneh kepadaku, dia menginginkan sepatu
baru. Aku masih terus berpikir. Bagaimana mungkin anak yang telah berbuat salah
berhasil mendapatkan sepasang sepatu? Sungguh hidup tak selamanya adil!
Hari yang ditunggu-tunggunya pun tiba. Sekarang dia telah
siap, begitu pula dengan Ibu Tim. Tapi, tidak denganku. Kehadiran sepatu baru itu
mengusikku, dan itu berarti aku bakal tak terpakai lagi, atau lebih buruknya
dibuang. Mereka akhirnya pergi dengan mobil Ayah Tim, dia tak memakainya karena
ini akhir pekan. Aku hanya bisa menunggu di rak sepatu hingga mereka datang.
Rasanya waktu terasa berjalan dengan cepat. Seketika saja mereka telah sampai
di rumah. Mereka membawa sepatu baru itu. Jantungku berdebar-debar. “Kak Tom!
Kak Jenny!” teriak Tim, meski tak ada tanda-tanda kehadiran kakak-kakaknya, dia
tetap merasakan kegembiraan. Dan tentu saja dia tak memerhatikanku. Dia
mengeluarkan kotak sepatu itu dari kantong belanjaan. Dengan riang dia
meletakkan sepatu itu di lantai. Dia mengeluarkan sepatu baru itu dari kotaknya,
dan aku akui dia memang lebih bagus dibanding aku yang sudah kumuh seperti ini.
Tapi, setidaknya dulu aku seperti sepatu baru itu. Ya, dulu.
Aku menatapnya terus menerus. Tim memakainya, sangat pas
di kakinya yang mungil itu. Sepatu baru itu melihatku duduk manis di rak
sepatu, meski penampilanku tidak semanis dudukku. Dia melihatku dengan tatapan
angkuh, sungguh sepatu yang sombong! Dia tidak tahu apa yang terjadi dengannya
bila sudah sepertiku nanti. Dia masih bersikap sombong saat diletakkan disampingku.
Aku hanya bisa diam, apa yang harus kulakukan sebagai sepatuh kumuh yang tak
berarti? Memandanginya dengan tatapan yang sama sombongnya? Tidak mungkin!
Penampilanku saja tidak memungkinkan, dan mungkin saja sepatu itu akan
menertawaiku.
Esoknya, sepatu itu terus saja berdiam diri sambil
menyombongkan dirinya. Memang dia diam, tapi wajahnya itu menunjukkan
kesombongan yang sangat besar. Seakan-akan, dia lah yang terbaik di antara
sepatu-sepatu milik keluarga Tim. Aku ingin berkata bahwa dia tak akan
selamanya bagus seperti itu, apa lagi Tim yang sangat suka berjalan di
tempat-tempat berbahaya. “Emm... Hei,” kataku akhirnya, dia hanya menoleh ke arahku,
memandangku dari atas ke bawah lalu membuang muka sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Aku menahan diri, dan bersabar. Sungguh menyebalkan! Karena tak
tahan akan sikapnya, aku mengutarakan semua yang ada di dalam pikiranku. “Kau
tak akan selamanya sebagus seperti itu, kau akan sepertiku. Ya, well...
kusam.” Dia hanya membalas dengan tatapan tajam. Aku mengacuhkannya, terlalu
sombong bagiku! Tak disangka, dia mengucapkan sesuatu, sayangnya perkataannya
itu hanya membuatku naik pitan. “Huh! Dasar sepatu kumuh tak berguna! Untuk apa
kau masih disini? Seharusnya kau sudah dibuang. Sobekanmu dimana-mana membuat
mataku menjadi rusak! Oh, mataku menjadi perih!” ujarnya dengan nada yang
meledek. Aku mulai merasakan wajahku memerah, bukan karena malu, tapi marah.
Aku lalu melihat sekitarku, masih terlalu pagi untuk ada yang melihatku
menghajar sepatu sialan ini. Aku mulai memukulnya, karena kaget, dia pun
membalas pukulanku tadi. Kami segera saja bertengkar. Tapi, karena pagi mulai
mendekat, kami menghentikan pertengkaran itu. Dan alhasil, sobekanku semakin
parah!
Hari yang dinantikan Tim telah tiba. Dia memakai sepatu
barunya itu ke sekolah, dan tentu saja bukan aku yang dipakainya. Dengan
gayanya yang sombong, sepatu itu mulai membawa Tim keluar pintu rumah. Aku
hanya bisa menatap iri kepadanya. Sepatu-sepatu lain juga telah pergi. Kecuali
sepatu yang khusus untuk jalan-jalan. Aku hanya berdiam diri di tempat,
menunggu apa yang akan terjadi kepadaku nantinya. Karena terlalu lama menunggu,
akhirnya aku tertidur pulas. Satu hal yang bisa kunikmati adalah, bisa tidur
sepuasnya.
“Bagaimana dengan sepatu lama Tim, bu?” kata seseorang
yang sepertinya itu suara Jenny. Aku terbangun. Aku mendengar Jenny mengatakan
hal itu, dan kata-kata itu berhasil membuatku terbangun dari tidur lelapku.
“Mungkin Ibu akan membawanya ke pembuangan.” Kata Ibu Tim santai sambil membersihkan
daerah sekitar rak sepatu, dan tak jauh dari tempatnya Jenny berdiri dengan
bersandar ditembok. Jenny lalu menghampiriku, dia mengangkatku tinggi-tinggi
kearah lampu yang menyala. Aku tak tahu apa yang dilakukannya. “Bu, sepertinya
Tim telah membohongimu. Lihat!” katanya sambil berjalan menuju Ibu Tim dengan
membawaku di tangannya. Ibu menggeleng-geleng. “Seharusnya Ibu memeriksanya
lebih teliti lagi.” kata Ibu Tim. Tapi mau diapa? Nasi telah berubah menjadi
bubur, dan pastilah sepatu baru-sombong itu tak dapat dikempalikan.
Saat terbangun, aku telah berada di tempat yang asing
bagiku. Ini bukan rak sepatu, ataupun teras. Aku melihat sekelilingku. Sampah.
Oh tidak! Aku benar-benar dibuang oleh Ibu Tim! Sungguh teganya beliau. Tapi
dia tak tahu perasaanku. Aku hanya bisa meretap, memandangi diriku. Oh, sungguh
menyedihkannya diriku saat ini. Tambalan di mana-mana, jahitan di sana-sini,
lem yang melekat di sekujur tubuhku, dan lumpur yang seminggu lalu belum
dibersihkan oleh Tim. Aku hanya bisa menangisi diri sendiri, tapi tak ada yang
mendengar.
Pagi-pagi sekali, tukang pembersih sampah tiba dan
membawa sampah-sampah ke atas truk, dan termasuk diriku didalamnya. Aku hanya
mengikuti alur truk ini. Hanya ada aku di sini, well... sebagai sepatu.
Aku menatap sekeliling. Sampah. Semuanya sampah. Akhirnya aku tiba di tempat
pembuangan sampah akhir, itu yang manusia katakan selalu. Wow, banyak sekali
sampah di sini. Hingga menggunung! Aku dibawa oleh si tukang sampah ketumpukan
sampah lainnya. Dibantingnya diriku di atas sampah. Entah apa yang akan terjadi
dengan diriku selanjutkanya. Aku hanya bisa pasrah. Tak sengaja, tukang sampah
itu menyenggol beberapa sampah hingga membuat diriku jatuh
terguling-guling kebawah, terus
berguling, dan terus berguling. Sebagian dari tubuhku hilang, aku tak tahu dia
berada dimana. Aku mulai mencari-cari dimana letak badanku yang satunya.
Seperti yang telah kuduga, tak kutemukan.
Aku berada di bawah sebuah besi. Besi berkarat. Sekarag,
aku hanya bisa menunggu hingga waktu berhenti bergerak. Dan berdiam diri di bawah besi berkarat ini.
Tak terasa, bertahun-tahun sudah kulewati di bawah besi berkarat ini.
Bertahun-tahun. Hingga tubuhku rusak, mengeluarkan bau busuk yang menyengat,
tambalan yang ada di tubuhku mulai berhamburan karena cuaca yang tak menentu.
Robekanku sudah sangat parah, pengalas kakiku telah menganga. Oh, sungguh buruk
diriku saat ini. Setiap hari aku hanya melihat pemandangan yang sama. Sampah.
Oh, tunggu dulu! Bukannya itu sepatu baru yang dimiliki Tim? Ya, benar! Itu
sepatu baru milik Tim! Dan sekarang dia berada ditempat yang sama denganku,
betapa menyedihkan dirinya. Sekarang, dia sudah berubah menjadi diriku. Dia
sempat melihat kearahku, dan tentu saja dia bersikap seolah-olah tidak
melihatku. Mungkin, dia terlalu malu untuk bertemu denganku.
Aku melihatnya dihancurkan di mesin penghancur. Oh!
Betapa menyakitkannya. Aku belum merasakannya, karena dari tahun ke tahun aku
masih berdiri disini. Menunggu giliran ku hancur. Aku mulai memejamkan mataku.
Tukang sampah yang pernah membawaku ketempat ini menghampiri besi yang berada
di atasku, lalu membawanya kesuatu tempat. Aku terbangun. Dia melihatku. Dia
mengambilku dengan rasa prihatin di wajahnya. Dia lalu membawaku ikut serta
dengan sepatu baru itu. Ya, ke mesin penghancur. Aku melihat semua sampah di
hancurkan di sana. Hingga berkeping-keping. Dan sekarang giliranku telah tiba.
Mesin itu terus berjalan tanpa henti. Aku hanya bisa memejamkan mataku, tak
sanggup melihat ini terjadi. Hawa panas telah menghampiriku, aku membuka mata,
di atasku telah terpajang penghancur sampah. Dan... dia menindisku, sangat
sakit. Sakit sekali. Dan itu rasa sakit terakhir yang pernah kurasakan. Karena...
ini akhir dari hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar