![]() |
https://id.pinterest.com/pin/469711436128368056/ |
Lohaaa~
Lama rasanya
baru mulai mempunyai niat untuk menulis di blog ini. Sempat terbersit dipikiran
apa sebaiknya blog ini saya tutup? Toh pembacanya juga gak banyak...
Tapi entah
mengapa saya masih enggan untuk menutup blog ini. Meski terakhir kali saya
update pas masih SMP dan sekarang saya sudah masuk perkuliahan, rasanya berat
untuk menghapus tulisan mengenai cerita abstrak saya ketika SMP. Daaann...
sekarang saya ingin kembali menulis di blog ini, hehehe...
Kaku rasanya
menulis kembali di blog ini, secara saya telah vakum beberapa tahun.
Hem.. jadi,
saya akan memulai kembali dengan cerita perjuangan saya masuk di perkuliahan.
Sewaktu masih
kelas 1-2 SMA, saya masih belum ambil pusing soal masa depan saya. Yang saya
inginkan hanya bisa masuk ke jurusan yang benar-benar saya inginkan, yaitu
desain. Otak kanan saya memang lebih aktif ketimbang otak kiri, sehingga saya
benar-benar tidak ingin bertemu dengan pelajaran yang menyusahkan otak. Saya hanya
ingin melakukan yang saya sukai, menggambar.
Saat memasuki
bangku kelas 3, saya mulai memikirkan masa depan. Setelah urusan dengan
organisasi telah kelar, saya serasa ditampar kenyataan bahwa saya harus memikirkan
bagaimana saya bisa lulus SBMPTN. Mendengar cerita dari kakak-kakak mengenai
sulitnya mereka mengikuti SBMPTN membuat nyaliku ciut, yang tadinya saya
optimis bisa lulus, setelah mendengar mereka saya serasa dihadapkan oleh
kenyataan bahwa kemauan kita tidak selalu dapat dipenuhi.
Sudah banyak teman-teman saya yang mengikuti les di sana-sini, dan tak lupa mempromosikan
tempat les mereka. Saya sangat ingin mengikuti les, karena saya tau diri:v
otakku tidak dapat selalu diandalkan. Namun, saat itu krisis ekonomi sedang
melanda, sehingga saya tidak ingin memberatkan kedua orang tua saya. Saya kemudian
mencari cara bagaimana saya dapat bersaing dengan orang-
orang yang mengikuti
les berkualitas dengan harga tak tanggung-tanggung.
Saat
memikirkan bahwa berat untuk mengikuti les, saya sangat merasa tertekan dan
tidak percaya diri. Bagaimana mungkin dengan kapasitas otak saya yang tidak
cemerlang ini bisa berhasil lolos dengan pesaing hingga jutaan orang?
Saya pun
memutuskan untuk berlangganan Zenius, dan membeli buku SBMPTN. Disaat teman-teman
saya masih tidak memikirkan SBMPTN, saya membeli buku itu. Saya kemudian
berpikir, jika saya tidak les, setidaknya saya mesti memulai lebih awal dari
mereka (meskipun sebenarnya sudah sangat terlambat jika baru mau belajar saat itu wkwkwk). Saya pun mulai mengatur waktu belajar, dan lebih niat untuk mengerjakan
serta memfokuskan diri ke pelajaran. Tidak jarang saya mengajak teman untuk
pergi belajar ke perpustakaan, dan menyadarkan mereka bahwa kita harus belajar
untuk mendapatkan yang diinginkan.
Oh ya,
karena di SMA ini nilaiku lumayan (selalu berada di 10 besar), saya sangat
berharap bisa lolos lewat jalur undangan atau SNMPTN. Tahap awal saya berhasil lulus karena
nilai-nilai saya selama ini membuat saya berhak berpartisipasi dalam jalur
undangan. Saya pun memilih semua jurusan desain, salah satunya adalah ISI
Yogyakarta. Ketika pengumuman SNMPTN, saya mesti menerima kenyataan bahwa ISI
bukan jalan untukku. Ya, saya tidak lulus SNMPTN, membuat saya mesti berhadapan
dengan SBMPTN. Teman saya yang lulus SNMPTN menyemangati dan mengatakan bahwa
saya mesti benar-benar fokus. Saya pun merasa tertantang. Mungkin karena faktor
saya sudah mulai belajar jauh-jauh sebelumnya membuat saya tidak sefrustasi
orang lain yang sangat berharap lulus SNMPTN dan tidak berhadapan dengan
SBMPTN. Saya mulai belajar gila-gilaan. Di rumah maupun di sekolah buku saya
selalu di tangan. Selain saya, ada juga beberapa teman saya yang tidak bisa
mengikuti les, sehingga kami berinisiatif untuk belajar bersama, setidaknya
kami bisa membantu satu sama lain untuk mengerjakan soal-soal. Kami juga
membeli buku yang beragam agar banyak mendapatkan referensi. Salah satu teman
saya yang les di tempat terpercaya, dengan senang hati meminjamkan buku lesnya
untuk kami pelajari (Thanks bung <3). BegituLAH kami, belajar dari buku satu ke buku lain hingga
larut malam.
Selain belajar,
saya juga tidak lupa untuk senantiasa meminta yang terbaik kepada Allah SWT. Saya selalu
mengatakan kepada diri sendiri bahwa Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik,
meski kita menganggap itu bukan yang terbaik, tapi percayalah bahwa itu adalah
yang terbaik. Selama libur setelah UN, saya belajar seharian, mengunci pintu
dan belajar, belajar, belajar, hingga rasanya kepala saya berasap. Saya selalu
merasa saya belum bisa menguasai ini semua, dan sedikit menyesal mengapa saya
baru sadar ketika naik ke kelas 3.
Sampai ketika
hari tes SBMPTN pun tiba. Pilihan pertama saya DKV, kedua Psikologi, dan ketiga
Arkeologi. Saya sangat berharap di DKV, karena saya merasa di situlah kemampuan
saya. Sebelum hari H, saya beberapa kali meminta restu di sana-sini. Dan kembali
meminta doa kepada orang tua saya. Abi saya selalu mengingatkan saya untuk
bersedekah sebelum hari tes tiba. Semua yang telah orang tua saya lakukan untuk
menyemangati anak mereka yang memiliki otak standar membuat saya lebih percaya
diri. Toh, jika tidak lulus, saya hanya harus mencari lagi jalan saya. oh ya, saya juga telah mempunyai rencacna apabila tidak lulus SBMPTN, yaitu memperdalam kemampuan biola saya. Dengan mempunyai rencana cadangan membuat saya lebih percaya diri, dan tidak takut akan frustasi apabila tidak lulus SBMPTN.
Saat tes
dimulai, saya sempat gemetaran. Namun, kemudian bisa normal kembali dan mulai
fokus. Setelah semua tes telah saya lakukan, saya kemudian mengingat perkataan
kakak-kakak saya yang mengatakan bahwa saat mengerjakan tes mereka serasa ingin
muntah, pusing, serta sakit kepala. Namun, saya tidak merasa demikian. Saya bisa
lebih santai dari yang saya bayangkan, padahal saya juga masih kurang yakin
dengan jawaban saya. Setelah sampai di rumah, barulah saya tahu alasan mengapa
saya bisa lebih santai. Alasannya adalah umi saya yang dari rumah membantu saya
dengan shalawat dan tapping (Refleksi dari jauh). Ini membuat saya benar-benar
yakin bahwa doa orang tua selalu dapat menenangkan kita.
Kurang lebih
2 bulan kami para peserta SBMPTN mesti digantung. Hingga kadang saya lupa kapan
pengumuman dilaksanakan. Abiku kerap kali mengatakan bahwa dia punya firasat
saya bisa lulus di Psikologi. Sewaktu itu saya hanya menganggap itu sebagai
penyemangat. Lagipula saya masih sangat ingin masuk DKV. Dan juga jurusan
psikologi yang saya pilih mempunyai peminat yang luar biasa. Jadi saya berpikir
bahwa kalaupun saya bisa lulus SBMPTN, saya pasti di pilihan ketiga. Itupun jika
saya benar-benar beruntung. Hal ini karena peminat dari Arkeologi masih kurang.
Saat hari
pengumuman pun tiba. Saya tidak bisa berpikir dengan jernih. Berulang kali saya
meyakinkan diri saya bahwa saya akan mendapatkan yang terbaik. Sempat saya
tidak ingin langsung membuka hasilnya, namun saya kembali berpikir, selama
apapun waktu yang saya tunda untuk membuka hasilnya, hasil tersebut tidak akan
berubah. Maka saya pun membukanya....
Bahagia
tentu menghampiri. Saya menangis sejadi-jadinya karena tidak sangka akan lulus,
terutama di Psikologi yang dari awal saya sudah tidak yakin dapat lulus di
jurusan ini. Saya bangga. Sangat bangga. Pengorbanan serta jerih payah saya
selama ini tidak sia-sia. Doa serta restu orang-orang di sekitar saya membuat saya bisa menjadi calon psikolog. Saya sangat merasa puas dengan diri saya sendiri. Saya
pun menyadari bahwa usaha selau mendapatkan hasil yang setimpal. Hal ini juga
karena saya telah memilih jalan yang tepat dan Allah telah memberikan saya yang
terbaik.
Meski selama ini saya sangat menginginkan menjadi desainer, saya yakin
bahwa menjadi lulusan psikolog merupakan jalan saya, dan menjadi terbaik untuk
saya. Dan juga saya mengingat sebuah kalimat bahwa...
“Allah tidak memberikan apa yang kita mau, tetapi Allah memberikan kita apa yang kita butuhkan”.
Saya semakin
yakin dengan jalan saya. Sekarang sangat kurang psikolog yang dapat diandalkan
di Indonesia. Saya akan menjadi seorang psikolog yang dapat membantu orang
lain. Doakan yah gaaeess~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar