Hai!
Kehidupanku menjadi anak kos tidaklah buruk! (Langsung masuk ke inti cerita)
Sebelumnya, saya sudah sedikit menggambarkan bagaimana diriku menjadi anak kos.
Bagiku yang sekarang menjalani hari dengan kehidupan tenang dan tentram, merupakan sebuah anugrah tersendiri. Mengingat sejak kecil saya mempunyai kaki yang gatal di rumah, alias gatal kalau tidak pergi-pergi. Kebiasaan itu berlanjut hingga saya berkuliah. Pulang pukul 1 dan 2 malam bukanlah hal yang jarang lagi. Yah rasanya kurang afdol saja menjadi mahasiswa tapi tidak pulang larut! (Jangan dicontoh dik-adik). Umi dan nenek rasanya sudah lelah menegur akan kepulanganku, namun suatu waktu saya mengatakan bahwa hanya saat ini saja seperti ini, ke depannya saya sudah terlalu lelah untuk melangkahkan kaki keluar rumah.
Dan benar saja.
Di umur seperempat abad ini, rasanya berdiam diri di rumah merupakan hal paling menarik sepanjang masa.
Sebelum bekerja di sini, saya tanpa sadar mengeluarkan afirmasi : ingin merasakan kehidupan kos.
Sempat diberikan kesempatan untuk meninggalkan tanah kelahiran, merantau ke Jawa karena salah satu keluarga menawarkan pekerjaan. Tapi karena terlalu mendadak dan tidak mempunyai persiapan, saya pun menolak. Terlebih lagi, pekerjaan yang ditawarkan tidak sesuai dengan bidang yang kutekuni selama 5 tahun. Menyesal? Yah.. tidak bisa kupungkiri, saya sempat menyayangkan kesempatan itu. Mengingat saat ini pekerjaan sangat sulit ditemukan.
Saya pun mulai menyibukkan diri. Entah itu sekedar belajar atau mencoba meng-update skill, terutama di bidang perusahaan. Afirmasi yang kukeluarkan juga mulai lebih spesifik : ingin nge-kos tapi masih dalam ruang lingkup tanah kelahiran.